3 Fakta Kasus Gagal Bayar Indosterling Optima yang Bikin Heboh

3 Fakta Kasus Gagal Bayar Indosterling Optima yang Bikin Heboh

Danang Sugianto - detikFinance
Selasa, 17 Nov 2020 05:42 WIB
Petugas Cash Center BNI menyusun tumpukan uang rupiah untuk didistribusikan ke berbagai bank di seluruh Indonesia dalam memenuhi kebutuhan uang tunai jelang Natal dan Tahun Baru. Kepala Kantor perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Papua mengungkapkan jumlah transaksi penarikan uang tunai sudah mulai meningkat dibanding bulan sebelumnya yang bisa mencapai penarikan sekitar Rp1 triliun. Sedangkan untuk Natal dan tahun baru ini secara khusus mereka menyiapkan Rp3 triliun walaupun sempat diprediksi kebutuhannya menyentuh sekitar Rp3,5 triliun. (FOTO: Rachman Haryanto/detikcom)
Ilustrasi/Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Muncul lagi kasus gagal bayar investasi masa pandemi COVID-19. Kasus ini menimpa para nasabah PT Indosterling Optima Investa (IOI).

Perkara ini merupakan gagal bayar untuk produk Indosterling High Yield Promissory Notes (HYPN). Produk investasi ini menjanjikan imbal hasil 9% hingga 12% setiap tahunnya.

Kasus ini terus bergulir dan mulai muncul fakta-fakta baru:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

1. Kronologi

Menurut kuasa hukum nasabah IOI, Andreas dari Global Eternity Law Firm, produk tersebut sudah dipasarkan sejak 2018/2019. Namun pada April 2020 pembayaran bunga HYPN mulai tersendat. Akhirnya terjadi gagal bayar.

"Kalau menurut PKPU, nasabah Indosterling mencapai 1.200-2.000 orang, dengan total dana dihimpun kurang lebih Rp 2-3 triliun. Tapi berdasarkan terlapor bilangnya Rp 1,99 triliun," kata Andreas saat dihubungi detikcom.

ADVERTISEMENT

Pengacara dari Kantor Hukum Eternity Global Lawfirm itu menaungi 58 nasabah IOI dengan total kepemilikan dana di produk investasi HYPN sebanyak Rp 95 miliar.

Klien Andreas memilih tidak ikut dalam PKPU. Mereka memilih jalur pidana dengan melaporkan ke Bareskrim Polri sejak 6 Juli 2020. Ada 3 pihak yang dilaporkan yakni PT IOI, SWH (Sean William Hanley) selaku direktur dan JBP (Juli Berliana Posman) selaku komisaris.

"PKPU sudah putus cuma klien saya itu tidak ikut di PKPU-nya. Mereka lebih memilih jalur pidana. Kalau PKPU kan bisa aset itu kalau pailit, kalau tidak ya akan lama. Mereka menawarkan pencairan kalau tidak salah 4-7 tahun. Klien saya tidak mau, mereka maunya sesuai perjanjian saja, atau minimal kembalikan sekian sisanya boleh pakai aset," terangnya.

Selain itu menurut informasi yang didapat Andreas ternyata IOI tidak memiliki izin dari BI maupun OJK.

"Berdasarkan kawan lawyer yang satu lagi katanya sudah bersurat ke BI dan surat itu sudah diberikan ke penyidik. Memang tidak ada izin, padahal dalam perjanjian mereka ada ditulis di pasal 6 huruf e dia memiliki segala jenis izin termasuk lembaga keuangan. Izinnya dia hanya perdagangan saja, kalau menghimpun dana kan gak bisa hanya itu," terangnya.

2. Pihak IOI Akui Tak Berizin OJK dan BI

Kuasa hukum IOI dari HD Law Firm, Hardodi mengakui bahwa kliennya tidak memiliki izin baik dari OJK maupun BI. Sebab menurutnya untuk produk HYPN saat ini belum ada payung hukumnya baik di OJK maupun BI.

"Perlu diingat HYPN ini adalah surat utang dalam jangka waktu tertentu, oleh karena itu tidak perlu izin dari OJK. Sebab ini kesepakatan dari pemegang dan penerbit, jadi memang tidak ada izinnya. Dalam HYPN ini perjanjian, jadi boleh dibilang utang-piutang," terangnya dalam konferensi pers di Ambhara Hotel, Jakarta, Senin (16/11/2020).

Hardodi menjelaskan, dalam produk tersebut ada surat perjanjian yang diteken oleh nasabah. Dalam perjanjian itu tidak disebutkan bahwa produk itu memiliki izin.

"Itu disepakati oleh kedua belah pihak," tambahnya.

Sementara untuk perusahaan, kata Hardodi, memiliki izin pendirian sebagai perseroan terbatas (PT).

3. Gagal Bayar Karena Pandemi

Hardodi juga menampik tudingan kliennya menjalankan praktik investasi bodong. Dia menegaskan bahwa produk investasi itu sudah berjalan beberapa tahun dan nasabah sudah menikmati bunganya.

"Perlu kami sampaikan bahwa ada beberapa berita klien kami terlibat dalam investasi bodong. Tegas kami sampaikan itu bukan investasi bodong seperti kewajiban tidak dibayarkan," ucapnya.

Pria yang juga sebagai pengacara pribadi Dirut IOI Sean William Hanley itu menjelaskan, kliennya mengalami gagal bayar lantaran keuangan perusahaan terganggu pandemi COVID-19.

"Ini karena faktor COVID-19 sehingga terjadi gagal bayar. Tapi tidak ada salah satu nasabah pun yang belum menerima pembayaran dari klien kami. Semua sudah menikmati. Akan tetapi akan keterlambatan per April kemarin oke itu diakui dan hampir semua perusahaan saya rasa merasakan yang sama," tambahnya.

Hardodi menjelaskan untuk produk HYPN Indosterling total nasabahnya mencapai 1.041 orang dengan total dana yang dihimpun mencapai Rp 1,2 triliun.

Menurut surat perjanjian perusahaan dengan nasabah yang dipegangnya dalam pasal 4 disebutkan bahwa dana yang dihimpun dipergunakan untuk diinvestasikan kembali di pasar modal dan pasar uang dan usaha lainnya.

"Jadi kalau dianggap ini pencucian uang salah, sementara sudah terikat dalam perjanjian ini," tegasnya.


Hide Ads