Terakhir adalah literasi keuangan yang menjadi tanggung jawab individu, perusahaan dan pemerintah sehingga calon nasabah mampu melindungi diri dari penipuan, miss-selling, dan bisa secepat mungkin melaporkan kejanggalan praktik asuransi kepada regulator.
"Kadang nasabah baru baca kontrak ketika ada masalah, pada saat tanda tangan perjanjian pembelian produk asuransi detil risiko dan legal nya tidak dibaca," jelas dia.
Managing Director Political Economy & Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan mengungkapkan dibutuhkan reformasi besar-besaran karena asuransi bukanlah produk yang murah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Dihantam Isu Monopoli, Tencent Rugi Rp 863 T |
"Banyak hal terjadi dan menimbulkan kerugian masyarakat, karena OJK kurang perhatian. Misalnya produk Jiwasraya bisa lolos selama 5 tahun dan juga kasus Asabri yang investasinya di saham bermasalah bisa bertahan lama," jelas dia.
Menurut Anthony memang saat ini juga banyak masyarakat yang tidak mengerti mengenai asuransi. "Biaya asuransi juga sangat tinggi dan besarnya biaya tidak terbuka sehingga masyarakat merasa dibohongi karena uangnya dipotong banyak," ujarnya.
Anthony menyebutkan jika mau dibandingkan dengan tingkat pengembalian asuransi dengan deposito atau tabungan lain, dalam waktu dekat asuransi pasti terasa rugi. Nah asuransi jiwa baru bisa teras untung kalau nasabah yang bersangkutan meninggal.
Karena itu harus ada supervisi dari OJK selaku regulator terkait berapa biaya yang normal. "Kalau produk Jiwasraya jelas produk yang mengandung risiko besar. Nasabah juga harus bisa menilai sendiri kalau ada produk 'tabungan' menawarkan bunga jauh lebih besar dari umumnya misal 10% maka harus hati-hati," tambah dia.
(kil/fdl)