Sementara itu, Edit mengungkapkan, berdasarkan data yang diungkapkan International Business Machines (IPM) keuntungan yang didapat dari penjualan data ransomware ini mencapai US$ 123 miliar atau setara dengan Rp 1,763,198,850,000,000 atau Rp 1.763 triliun (kurs dolar Rp 14.334).
Selain itu, pelaku usaha yang bergerak di sektor keuangan pun harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mengganti kerugian tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bicara ransomware, data yang kita dapat dari IPM ini keuntungan dari penjualan data yang di ransom oleh pelaku ini mencapai US$123 miliar dan tentunya ada cost yang harus kita keluarkan di sektor keuangan hampir mencapai US$ 2,6 miliar (sekitar Rp 37 triliun) untuk merecovery data bridge," ujarnya.
Sementara itu, Edit mengatakan, untuk kasus phising dari kuartal III-2020 sampai kuartal II-2021 relatif stabil. Bukan kabar yang menenangkan karena artinya pelaku kejahatan dalam melakukan phising masih bertahan.
"Catatannya adalah institusi keuangan menjadi porsi yang terbesar dalam industri yang menjadi target phising di seluruh dunia," ujarnya.
Pihaknya mengakui, perihal regulasi pemerintah Indonesia masih belum cukup mengantisipasi permasalahan tersebut. Sehingga ke depan akan disiapkan Perpres baru mengenai aturan keamanan cyber tersebut.
"Terhadap regulasi juga memang kita harus akui berbagai kebijakan di Indonesia belum cukup ampuh mengantisipasi meningkatnya cyber crime khususnya di masa pandemi. Pada prinsipnya diharapkan pelaku penyelenggara menerapkan kerangka kerja yang berbasis merujuk pada standar. Kita perlu berbagi informasi ketika ada insiden bisa dilaporkan ke otoritas sehingga otoritas bisa mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu agar insiden itu tidak menyebar ke sektor lain. Hal ini yang perlu dilanjutkan dan dikembangkan dalam Perpres nanti," pungkasnya.
(dna/dna)