Bank Indonesia (BI) hari ini menetapkan suku bunga acuan atau BI 7days reverse repo rate di level 3,5%. Ini artinya BI sudah 14 kali berturut-turut menahan suku bunga acuan.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, suku bunga deposit facility sebesar 2,75% dan suku bunga lending facility tetap sebesar 4,25%.
"Keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan terkendalinya inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan eksternal yang meningkat terkait tekanan eksternal yang meningkat karena ketegangan Rusia-Ukraina dan percepatan normalisasi kebijakan moneter di negara maju," kata dia dalam konferensi pers, Selasa (19/4/2022).
Dia menyebutkan BI juga terus mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan mendukung pemulihan ekonomi lebih lanjut.
Selain itu BI juga terus memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam rangka mengendalikan inflasi, menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan, serta meningkatkan kredit/pembiayaan kepada dunia usaha pada sektor-sektor prioritas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, ekspor, serta inklusi ekonomi dan keuangan.
Perry mengungkapkan berlanjutnya ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina berdampak pada pelemahan transaksi perdagangan, kenaikan harga komoditas, dan ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah penyebaran COVID-19 yang menurun.
Pertumbuhan ekonomi berbagai negara, seperti Eropa, Amerika Serikat, Jepang, China, dan India diprakirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.
Dengan perkembangan tersebut, BI merevisi prakiraan pertumbuhan ekonomi global pada 2022 menjadi 3,5% dari sebelumnya sebesar 4,4%.
"Volume perdagangan dunia juga diprakirakan lebih rendah sejalan dengan perlambatan ekonomi global dan gangguan rantai pasokan yang masih berlangsung," jelas dia.
Harga komoditas global mengalami peningkatan, termasuk komoditas energi, pangan, dan logam, sehingga memberikan tekanan pada inflasi global.
Ketidakpastian pasar keuangan global juga masih tinggi seiring dengan masih berlanjutnya ketegangan geopolitik di tengah percepatan normalisasi kebijakan moneter di berbagai negara maju, termasuk AS, sejalan dengan semakin tingginya tekanan inflasi. Hal tersebut mendorong terbatasnya prospek aliran modal asing, khususnya portofolio, dan tekanan nilai tukar negara berkembang, termasuk Indonesia.
(kil/das)