Ketua Konsorsium Aliansi Korban WanaArtha Life Johanes Buntoro menyampaikan alasannya menolak tim likuidasi hasil rapat sirkuler. Menurutnya tim likuidasi tersebut dibentuk atas usulan Pemegang Saham Pengendali (PSP) yang berstatus buron.
Johanes menuntut OJK turun tangan menangani kasus yang merugikan nasabah lebih dari Rp 15 triliun ini, khususnya terkait tim likuidasi.
"Dalam hal ini sama saja OJK memberikan kunci kebebasan untuk Pelaku Penggelapan belasan triliun yang merupakan kejahatan luar biasa dalam dunia asuransi dengan tidak adanya perlawanan dari OJK atas nama-nama tim likuidasi yang murni usulan dari PSP yang menjadi buronan," kata Johanes, Selasa (17/1/2023).
Ia menjelaskan PSP melarikan diri ke luar negeri dengan status Daftar Pencarian Orang (DPO). Selain itu red notice dari interpol juga sudah keluar.
"PSP melarikan diri ke luar negeri dalam status DPO dan sudah di-red notice karena kasus penggelapan dana premi. Harusnya OJK menjadi garda terdepan dengan bekerjasama PPATK dan Bareskrim untuk menangkap PSP yang buron bukan malah membantu menyelamatkan PSP," tuturnya.
Johanes sempat memberikan daftar buron kasus WanaArtha yang sudah keluar red notice dari interpol. Seperti Pietruschka Rezanantha Fadil, Pietruschka Manfred Amin, dan Pietruschka Evelina Fadil.
Pemegang polis WanaArtha menuntut kejelasan soal pengembalian dana setelah perusahaan tersebut dibubarkan dan terbentuknya tim likuidasi. Johanes ragu tim likuidasi mampu mengembalikan uang dengan jumlah belasan triliun rupiah.
"Harapan kami Presiden Jokowi jangan menutup mata dan menutup telinga atas korban-korban para lansia yang sudah berjatuhan bahkan sampai meninggal, mau mendengarkan kami langsung supaya bisa lebih cepat menangani masalah ini," imbuhnya.
Korban menyoroti POJK nomor 28/pojk.05/2015/ yang menjadi dasar pembentukan tim likuidasi hasil rapat sirkuler pimpinan Harvardy M. Iqbal. Menurutnya setelah izin usaha WanaArtha dicabut maka perusahaan tetap wajib menggelar RUPS.
"Karena untuk pembubaran perusahaan asuransi wajib menyelenggarakan RUPS. Ini artinya tidak bisa digantikan dengan pasal lainnya dengan asumsi dan pendapat pribadi baik OJK, Pelaku Usaha, dan PP, kecuali disana tidak disebutkan kata WAJIB. Jika pelaku usaha keberatan dengan kata wajib sebaiknya pelaku usaha melakukan uji materi ke PTUN," pungkasnya.
Simak Video "Nasabah WanaArtha Ngamuk Usai Sidang Vonis Jiwasraya"
(zlf/zlf)