Pengamat ekonomi dan kebijakan publik mempertanyakan efektivitas kewajiban pemotongan gaji pekerja sebesar 3% untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Sebab, harga tanah saat ini selalu semakin mahal.
"Kalau peningkatan harga lahan begitu cepat kemudian susah diimbangi peningkatan terkumpulnya tabungan Tapera, ya makin lama (harga rumah) tetap akan makin mahal. Makin susah untuk terjangkau walaupun sudah ada TAPERA," ucap Direktur Ekskutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, kepada detikcom, Selasa (28/5/2024).
Faisal kemudian menjelaskan, harga tanah memang selalu naik sebab Indonesia tidak mempunyai regulasi yang membatasi kepemilikan lahan. Ketiadaan aturan pembatasan kepemilikan lahan adalah penyebab utama harga tanah selalu naik.
"Karena selama ini kepemilikan lahan yang tidak dibatasi mendorong kenaikan lahan karena para pemilik modal dengan mudah memiliki lahan tanpa batas," jelasnya.
"Sementara yang kalangan tidak mampu makin kesusahan memperoleh lahan walaupun dengan besaran sangat kecil dan sempit," sambungnya.
Oleh sebab itu, Faisal menilai pemerintah harus memberi kepastian bahwa dana masyarakat yang dihimpun bakal efektif. Sebab, potongan 3% bagi karyawan mandiri, 2,5% bagi karyawan swasta, dan 0,5% bagi perusahaan terhitung cukup besar.
"Kalau kemudian ingin diwajibkan potongan 2,5% berarti yang jadi pertanyaan bagaimana manajemen dan governance dari TAPERA? Apakah kemudian efektif untuk bisa mendorong pemenuhan perumahan bagi karyawan atau pekerja dengan potongan 2,5%? Kapan? Seperti apa? Dan efisien atau tidak dari sisi manajemen? Itu harus dipastikan dulu karena yang dikhawatirkan (masyarakat) banyak sebetulnya dari dana yang dikumpulkan tentu tidak memenuhi tujuan pemenuhan perumahan dengan tepat dan timing yang tepat dari sisi kualitas," tegasnya.
Setali tiga uang, Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, juga mempertanyakan efektivitas kewajiban iuran TAPERA. Pasalnya, sampai saat ini ada sejumlah program yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk menyicil perumahan. Salah satunya adalah Manfaat Layanan Tambahan (MLT) BP Jamsostek.
Di sisi lain, masyarakat juga sudah diberatkan berbagai kewajiban pemotongan gaji seperti BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Ada pula yang sudah mempunyai cicilan rumah sendiri lewat skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
"Jadinya dua kali bayar kan. Dobel toh. Satu orang dobel. Harus ada BPJS lah, lain-lain juga. Maka otomatis masyarakat teriak," tuturnya.
Oleh sebab itu, Trubus menyarankan agar pemerintah mendalami dan merevisi regulasi itu dulu. Sebab, Pemerintah harus bisa meyakinkan dan menjelaskan kepada publik bahwa program tersebut tidak akan memberatkan masyarakat.
"Ditelaah lagi apakah memungkinkan karena yang sulit nanti implementasinya termasuk soal pengelolaan uangnya sendiri, saya kira pemerintah kedepan (juga) harus berpikir peninggalan ini karena ini PP. PP harus ada turunannya yang jelas. Termasuk juga bagaimana nanti kesiapan daerah," pungkasnya.
(rrd/rir)