Tertekan di Tengah Daya Beli Masyarakat yang Lemah
Keputusan pemerintah yang mewajibkan masyarakat membayar iuran Tapera turut dipertanyakan sejumlah pengamat ekonomi dan kebijakan publik. Sebab, regulasi itu dikeluarkan di tengah melemahnya daya beli masyarakat.
Direktur Ekskutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menilai keputusan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan tersebut tidak tepat. Sebab, berdasarkan catatan pihaknya, saat ini terjadi penurunan dari sisi konsumsi domestik dan penurunan daya beli masyarakat, khususnya dari kalangan kelas menengah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita bisa lihat misalnya dari upah riil, sampai tahun terakhir kemarin itu negatif pertumbuhannya, minus 1%, itu upah riil artinya upah nominal yang dikoreksi dengan tingkat inflasi," ucap Faisal kepada detikcom, Selasa (28/5/2024) kemarin.
Faisal mengatakan upah riil yang negatif adalah tanda pendapatan masyarakat turun. Di sisi lain, proporsi pendapatan rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi dan kredit juga semakin turun.
Hal serupa juga terlihat untuk pembelian barang-barang sekunder dan tersier seperti kendaraan bermotor dan pembelian rumah. Menurutnya, ini adalah tanda kemampuan finansial masyarakat sedang terbatas hanya untuk membeli kebutuhan dasar seperti makanan saja.
"Konsumsi untuk barang tersier dan sekunder turun, berarti sebetulnya kalangan menengah lagi terbatas untuk membeli barang2 kecuali basic needs untuk makanan," jelasnya.
Oleh sebab itu melihat berbagai fakta di atas, Faisal menilai kebijakan pemerintah yang mengeluarkan regulasi kewajiban untuk mencicil pembelian rumah lewat Tapera tidak tepat. Sebab, hal itu akan membebani konsumsi masyarakat khususnya untuk kebutuhan dasar.
Di sisi lain, Faisal mengatakan bahwa kemampuan kalangan pekerja swasta tidak bisa dipukul rata. Sebab, tingkat pendapatan masyarakat pada dasarnya berbeda-beda, apalagi di tengah berbagai keputusan pemerintah untuk menambah penerimaan negara.
"Kalau dipukul rata sekarang waktunya tidak tepat. pada saat yang sama pemerintah juga menetapkan tambahan biaya misalkan tambahan penerimaan ada beban tambahan cukai, PPN (Pajak Pertambahan Nilai) mau dinaikkan, lalu subsidi dikurangi, ini artinya secara akumulatif akan membebani masyarakat. mengurangi beban APBN tetapi menambah beban masyarakat. (Kebijakan Tapera) Ini perlu dipertimbangkan," tegasnya.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, turut menilai momentum dikeluarkannya PP No 21/2024 tidak tepat. Sebab, belum ada urgensi dari masyarakat untuk segera memiliki rumah. Menurutnya, kebijakan itu seolah dipaksakan.
"Ini keluarnya PP 21 itu menurut saya memang belum urgent meskipun sebetulnya niatnya baik. Rumah memang butuh rumah di tengah harga yang tinggi. Istilahnya khusus masyarakat bawah berat, nggak bisa. Masih ada yang lebih mendesak. (Saat ini) kalau disuruh mencicil rumah, orang lebih mementingkan kesehatan," bebernya.
Oleh sebab itu, Trubus menyarankan agar pemerintah menunda atau merevisi peraturan Tapera terlebih dahulu. Sebab, sampai saat rincian serta aturan main dari regulasi tersebut belum jelas, di antaranya seperti, mekanisme masyarakat yang tidak mau menggunakan Tapera, status peraturan agar tidak tumpang tindih dengan program cicilan rumah Manfaat Layanan Tambahan (MLT) BP Jamsostek, sampai pengelolaan dana masyarakat.
Trubus menjelaskan penjelasan utuh diperlukan karena masyarakat sudah dikempit banyak potongan seperti BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.
"Revisi dulu atau ditunda dulu. Suatu regulasi harus disosialisasikan dulu idealnya. Harus ada komunikasi biar masyarakat tahu, infonya harus jelas. Edukasinya gimana. masyarakat harus sadar dia membayar Tapera. Ini untuk sampai ke sana harus melihat situasi masyarakat kita. Kalau tidak mampu, apa iya harus bayar (tabungan) perumahan? Ini menurut saya penting," pungkasnya.
Simak Video 'Tapera Oh Tapera, Bikin Resah Pekerja di Tengah PHK Tinggi di Indonesia':
(ara/ara)