Bank Indonesia (BI) menilai efek kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% terhadap barang mewah tidak akan memberikan dampak besar pada laju inflasi maupun Produk Domestik Bruto (PDB). Adapun PPN 12% akan mulai berlaku per 1 Januari 2025.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Aida Suwandi Budiman mengatakan, hal ini perlu diidentifikasi lebih lanjut dari barang-barang apa saja yang akan kena PPN 12%. Barang-barang tersebut antara lain barang premium.
Tahapan selanjutnya, perlu dilihat bobot dari kategori barang kena PPN di Indeks Harga Konsumen (IHK). Apabila menggunakan Survei Biaya Hidup (SBH) 2022, didapatkan jumlahnya 52,7%.
"Kemudian baru kita hitung bagaimana dampaknya kepada inflasi. Ini kita harus pakai asumsi yang digunakan oleh Bank Indonesia itu kemarin rata-rata historisnya," kata Aida, dalam Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur BI, di Kompleks BI, Jakarta Pusat, Rabu (18/12/2024).
Aida menjelaskan, asumsi rata-rata histori yang digunakan mempertimbangkan pass through, di mana jika pajak meningkat dan harga ikut naik. Menurutnya, terkadang ketika pajak meningkat pengusaha atau perusahaan kadang bisa menanggung kenaikan ini dari keuntungan mereka.
Namun berdasarkan data BI secara historis, sekitar 50% yang di-passthrough alias dibebankan ke konsumen. Dari hitungan tersebut, diperkirakan akan mengakibatkan penambahan inflasi sekitar 0,2%.
"Tetapi apakah ini besar? Jawabannya tidak. Karena hasil perhitungan kami dari proyeksinya dia sekitar sedikit di atas dari 2,5% plus minus 1% dari target inflasi 2025. Kenapa itu bisa terjadi? Karena jangan lupa juga ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi, kan nggak hanya satu ya," terang Aida.
Salah satu faktor yang bisa mempengaruhi ialah penurunan harga komoditas global. Meski begitu, BI tetap konsisten dalam menjaga kebijakan moneter dan ekspektasi inflasi. Tidak hanya itu, sinergi antara BI dan pemerintah juga perlu diperkuat untuk menjaga gejolak harga pangan.
Sementara dari sisi pengaruh PPN 12% terhadap PDB sendiri, menurut Aida, berdasarkan hitung-hitungan yang dilakukan BI pun nilainya tidak terlalu besar. Angkanya di kisaran 0,02%-0,03% terhadap PDB.
"Tetapi sekali lagi kita jangan hanya menghitung seperti itu. Pemerintah juga melakukan berbagai macam insentif yang lainnya. Seperti kemarin kan diumumkan tentang Paket Stimulus Ekonomi 2025," ujar Aida.
"Ada berbagai macam di sana, termasuk ada penghapusan (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), PBG (Persetujuan Bangunan Gedung), dan lain-lain. Dan ini kami lihat akibatnya dampaknya kepada PDB tidak terlalu minimal sekali," sambungnya.
(acd/acd)