Kolom

Pertaruhan Independensi BI dalam Usulan Program Debt-Switching Rp 100 Triliun

Dipo Satria Ramli - detikFinance
Kamis, 06 Feb 2025 13:49 WIB
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Independensi bank sentral adalah landasan kebijakan moneter yang efektif. Indepedensi tersebut memastikan keputusan ekonomi dibuat berdasarkan indikator ekonomi daripada sekadar tekanan politik. Bank Indonesia (BI) adalah lembaga independen sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999.

Namun, perkembangan terbaru, terutama usulan Program Pengalihan Utang Rp100 triliun antara Pemerintah Indonesia dan BI tahun ini, menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana independensi ini ke depan.

Quantitative Easing melalui Program Burden Sharing di Pandemi COVID-19

Indonesia, seperti banyak negara lainnya, menghadapi tantangan ekonomi selama pandemi COVID-19. Untuk mengatasinya, pemerintah dan BI melaksanakan Program Burden Sharing untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Program ini melibatkan BI, yaitu BI membeli obligasi yang dikeluarkan pemerintah.

Secara efektif program ini mencetak uang untuk membiayai pengeluaran pemerintah di bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan area penting lainnya. Antara tahun 2020 dan 2022, BI menyuntikkan dana sebesar US$ 69 miliar (Rp 1.105 triliun) ke dalam perekonomian melalui skema ini.

Awalnya, Bank Indonesia menolak Program Burden Sharing ini. Namun, pernyataan Presiden Jokowi tentang perlunya berbagai lembaga negara untuk 'berbagi beban', mengindikasikan tekanan kepada BI untuk mendukung inisiatif pemerintah. Meskipun penting dalam menangani kebutuhan ekonomi yang mendesak, program ini mengaburkan batas antara kebijakan fiskal dan moneter. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran terkait independensi Bank Indonesia.

Per Juli 2024, Bank Indonesia memegang surat berharga pemerintah sebesar 24% dari obligasi pemerintah yang beredar di pasar, senilai US$ 85 miliar (Rp 1.375 triliun). Angka ini melampaui nilai surat berharga pemerintah yang dipegang oleh bank, perusahaan asuransi, dana pensiun, dan manajer investasi. Saat ini, BI adalah pemegang surat berharga pemerintah yang terbesar.

Usulan Program Pengalihan Utang (Debt-Switching) Rp 100 Triliun

Pada tahun 2025 ini, banyak pinjaman dari Program Burden Sharing yang jatuh tempo. Namun, saat ini Indonesia sedang menghadapi kendala fiskal, dengan defisit sebesar 2,29% dari PDB. Maka dari itu, pemerintah mengusulkan Program Pengalihan Utang. Inisiatif ini melibatkan pertukaran obligasi yang jatuh tempo dengan obligasi baru bertenor lebih panjang.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, telah menyatakan dukungannya untuk inisiatif ini. Ia menekankan kesesuaian program ini dengan mekanisme pasar dan tujuan ekonomi pemerintah yang lebih luas.

Namun, usulan ini telah memicu perdebatan. Mengelola utang nasional sangat berbeda dengan menangani utang korporasi. Ada peraturan yang mencegah pertukaran utang langsung antara pemerintah dan Bank Indonesia.

Banyak kritik yang menyatakan bahwa tindakan ini dapat semakin mengkompromikan independensi BI karena melibatkan pemberian bantuan keuangan langsung kepada pemerintah. Selain itu, kerangka hukum, yaitu Undang-Undang No. 24 Tahun 2002, membatasi kemampuan pemerintah untuk melakukan pertukaran utang tanpa mematuhi prosedur tertentu, seperti penawaran awal di pasar primer.

Dengan adanya Debt-Switching, setiap utang yang dimiliki BI pada dasarnya adalah utang pemerintah. Akibatnya, utang BI mungkin tidak digunakan untuk menjaga stabilitas moneter, melainkan untuk mengatasi defisit fiskal.

Lanjut ke halaman berikutnya



Simak Video "Video: Tok! DPR Pilih Ricky Perdana Gozali Jadi Deputi Gubernur BI"

(ang/ang)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork