Pada 3 Januari 2025 Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil terhadap Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ("KUHD") melalui Putusan No. 83/PUU-XXII/2024 (Putusan MK No. 83). Permohonan ini diajukan oleh Maribati Duha, ahli waris dari seorang tertanggung yang klaimnya ditolak oleh salah satu perusahaan asuransi di Indonesia.
Penolakan tersebut didasarkan pada hasil seleksi risiko (underwriting) ulang yang menemukan bahwa terdapat rekam medis dari objek asuransi yang tidak diungkapkan saat pengisian formulir polis.
Sebelum Putusan MK No. 83, Pasal 251 KUHD menyatakan bahwa:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan iktikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal"
Putusan MK No. 83, MK menyatakan bahwa norma dalam Pasal 251 KUHD bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung atau berdasarkan putusan pengadilan".
Latar belakang
Latar belakang permohonan ke MK ini adalah sebagai berikut:
Bahwa Pemohon uji materiil adalah ahli waris dari penerima manfaat atas nama Alm. Sopan Santun Duha dengan Tertanggung/Pemegang Polis atas nama Alm. Latima Laia yang terdaftar sebagai Tertanggung/Pemegang Polis Asuransi Jiwa dari salah satu produk yang diselenggarakan oleh PT PRUDENTIAL LIFE ASSURANCE ("Prudential") sejak tanggal 25 November 2013.
Pada tahun 2018 Tertanggung/Pemegang Polis menaikan premi dan disetujui Prudential dari Rp500.000,- (lima ratus ribu Rupiah) menjadi Rp2.000.000,- (dua juta Rupiah) sehingga berdampak pada kenaikan nilai klaim atau manfaat.
Bahwa pada tanggal 21 Juli 2022, Tertanggung/Pemegang Polis meninggal dunia. Pada tanggal 15 Agustus 2022, Pemohon mengajukan klaim kepada Prudential atas nilai manfaat yang semestinya diterima sebagaimana tertuang dalam Polis.
Pemohon menyatakan bahwa Prudential masih memiliki kewajiban untuk membayar sisa nilai manfaat yang semestinya diterima oleh penerima manfaat atas nama Sopan Santun Duha sebesar Rp510.500.000,- (lima ratus sepuluh juta lima ratus ribu Rupiah).
Di lain pihak Prudential menyatakan berdasarkan hasil seleksi risiko (underwriting) ulang, Prudential menemukan data atau rekam medis Tertanggung/Pemegang Polis yang belum disampaikan pada saat pengisian formulir Polis, dengan riwayat sebagai berikut: 1) tanggal 1 Oktober 2019, Tertanggung/Pemegang Polis didiagnosa Hipertensi Grade II dan Gastritis; 2) tanggal 30 Mei 2021, Tertanggung/Pemegang Polis didiagnosa Vertigo; 3) tanggal 13 Juli 2022, Tertanggung/Pemegang Polis didiagnosa Susp Stroke Hemoragik. Prudential berargumentasi bahwa bersadarkan Ketentuan Umum Polis mengenai Dasar Pertanggungan, maka seharusnya: a. Polis dengan sendirinya batal dan dianggap tidak pernah berlaku sehingga pengajuan klaim meninggal yang Bapak ajukan tidak dapat dibayarkan; b. Kami tidak berkewajiban untuk menanggung risiko apapun atas jiwa Tertanggung selain biaya asuransi yang telah kami terima dan nilai tunai yang dihitung berdasarkan harga unit terdekat setelah kekeliruan, ketidak-benaran atau penyembunyian keadaan itu diketahui oleh kami.
Pertimbangan MK
Menurut MK Pemohon telah dapat menjelaskan adanya hak konstitusional yang dianggap dirugikan dengan berlakunya norma Pasal 251 KUHD yang dimohonkan pengujian.
Berdasarkan asas erga omnes, Putusan MK mengikat dan harus dipatuhi oleh semua warga negara. Putusan MK juga bersifat final dan mengikat, tidak ada lagi upaya hukum lain yang bisa ditempuh. Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan beberapa hal dalam menyatakan Pasal 251 KUHD sebagai inkonstitusional bersyarat:
Norma Pasal 251 KUHD berpotensi menimbulkan adanya tafsir yang beragam, khususnya jika dikaitkan dengan syarat batalnya perjanjian asuransi yang terdapat adanya persoalan yang berkenaan dengan adanya unsur yang disembunyikan oleh tertanggung sekalipun dengan iktikad baik.
251 KUHD tidak secara tegas mengatur mekanisme syarat batal atau cara pembatalan dilakukan jika terdapat hal-hal yang disembunyikan dalam membuat perjanjian, kecuali sekadar ada pilihan akibat yang dapat timbul, yaitu perjanjian tersebut batal atau perjanjian tersebut tidak akan diadakan atau akan diadakan dengan syarat yang berbeda, jika hal-hal yang keliru atau disembunyikan tersebut diketahui sebelumnya.
Norma Pasal 251 KUHD yang seolah-olah hanya ditujukan untuk memberikan peringatan kepada tertanggung saja, tanpa memberikan keseimbangan hak dari pihak tertanggung atas perjanjian yang dibuat bersama dengan pihak penanggung, sehingga telah menjadi kesepakatan adalah norma yang tidak memberikan pelindungan dan kepastian hukum yang adil khususnya bagi tertanggung.
Prinsip Utmost Good Faith dan Duty Of Disclosure dalam Asuransi
Sebagai bentuk perjanjian, hubungan hukum antara penanggung dan tertanggung juga harus mematuhi ketentuan Kitab Undang-Undang Perdata ("KUHPerdata"), khususnya Pasal 1320, 1338, dan Pasal 1254 KUHPerdata yang berkaitan dengan iktikad baik dalam perjanjian.
Berkaitan dengan iktikad baik, dalam praktik asuransi dikenal prinsip utmost good faith (iktikad baik) dan duty of disclousure (kewajiban pengungkapan). Prinsip ini mewajibkan masing-masing pihak baik penanggung maupun tertanggung untuk mengungkapkan semua informasi material yang dapat mempengaruhi keputusan asuransi dan pengungkapan tersebut tidak boleh keliru.
Pelaksanaan prinsip utmost good faith dan duty of disclousure diatur dalam beberapa ketentuan, salah satunya Pasal 251 KUHD. Ketentuan Pasal 251 KUHD, yang merupakan objek permohonan Putusan No. 83, dianggap sebagai salah satu ketentuan yang melindungi kepentingan perusahaan asuransi atau penanggung apabila tertanggung memberikan informasi yang keliru atau tidak benar serta menyembunyikan keadaan yang diketahui tertanggung.
Perlindungan terhadap perusahaan asuransi juga diatur dalam beberapa peraturan pelaksana terkait asuransi di antaranya pada Pasal 6 dan Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2023 Tentang Pelindungan Konsumen Dan Masyarakat Di Sektor Jasa Keuangan ("POJK No. 22/2023") yang mengatur bahwa perusahaan asuransi yang juga termasuk dalam lembaga usaha jasa keuangan, memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik serta mendapatkan informasi dan/atau dokumen yang jelas, akurat, benar, dan tidak menyesatkan mengenai calon konsumen atau konsumen, termasuk dalam hal ini tertanggung dan pemegang polis.
Pasal 92 POJK No. 22/2023 juga mengatur kewajiban tertanggung selaku konsumen untuk beriktikad baik dalam penggunaan produk dan/atau layanan serta memberikan informasi dan/atau dokumen yang jelas, akurat, benar, dan tidak menyesatkan.
Di sisi lain, kewajiban perusahaan asuransi dalam memberikan informasi yang akurat diatur dalam Pasal 14 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi Syariah sebagaimana diubah oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 38/POJK.05/2020 Tahun 2020 yang mengatur bahwa perusahaan asuransi wajib menyediakan atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jelas, dan tidak menyesatkan kepada pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta.
Implikasi Putusan MK No. 83
Putusan MK No. 83 memberikan tafsiran tambahan bahwa pembatalan pertanggungan dalam hal pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung dilakukan melalui 2 (dua) cara yakni:
kesepakatan penanggung dan tertanggung; atau
berdasarkan putusan pengadilan.
Putusan MK No. 83 tidak menghapuskan implikasi batalnya pertanggungan apabila tertanggung memberikan informasi yang tidak akurat kepada penanggung, tetapi menegaskan mekanisme pembatalannya. Oleh karenanya, Putusan MK No. 83 tersebut tidak dapat diartikan bahwa tertanggung dapat memberikan informasi yang keliru atau tidak benar kepada perusahaan asuransi.
Pada praktiknya, permasalahan terkait keakuratan informasi dari tertanggung kerap kali menjadi penyebab dari penolakan klaim asuransi serta berujung sengketa antara penanggung dan tertanggung dengan landasan bahwa informasi yang tidak akurat dari tertanggung mengakibatkan pertanggungan menjadi batal.
Berdasarkan data hasil survei dari 59 (lima puluh sembilan) perusahaan asuransi jiwa yang dikumpulkan oleh dan disampaikan pada persidangan Putusan MK No. 83, pada tahun 2023 terdapat 3.861 (tiga ribu delapan ratus enam puluh satu) klaim asuransi yang ditolak, dimana 1.347 (seribu tiga ratus empat puluh tujuh) di antaranya disertai dengan pembatalan polis.
Berikut data dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI):
![]() |
Sebelum Putusan MK No. 83, apabila terdapat perselisihan terkait pembatalan suatu polis asuransi yang dilakukan oleh penanggung karena keakuratan informasi, maka pada umumnya tertanggung yang harus aktif untuk mengambil langkah hukum dan mengajukan gugatan kepada penanggung melalui pengadilan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Hal ini sebagaimana diaspirasikan oleh pemohon pada Putusan MK No. 83, yang menyatakan bahwa ketika terdapat pembatalan polis dari penanggung yang tidak disetujui oleh tertanggung, tertanggung harus aktif mengambil langkah hukum untuk memperjuangkan haknya dan secara tidak langsung dibebankan kewajiban membuktikan bahwa informasi yang diberikannya kepada penanggung sudah akurat. Namun setelah adanya Putusan MK No. 83, diperlukan inisiatif dari penanggung dalam pembatalan pertanggungan apabila terjadi perselisihan terkait keakuratan informasi dari tertanggung.
Bersambung ke halaman berikutnya. Langsung klik