Sederet Tips Atur Duit Usai Long Weekend Biar Kantong Nggak Seret

Sederet Tips Atur Duit Usai Long Weekend Biar Kantong Nggak Seret

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Senin, 15 Mar 2021 07:30 WIB
Ilustrasi THR
Foto: Muhammad Ridho
Jakarta -

Libur panjang alias long weekend telah usai. Biasanya, banyak orang jor-joran berbelanja selama libur panjang tersebut.

Di sisi lain, hari gajian masih lama dan masih banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Lalu, bagaimana cara mengatur keuangan supaya aman hingga gajian nanti?

Perencana Keuangan dari Advisors Alliance Group Indonesia, Andy Nugroho mengatakan, dengan kondisi tersebut yang perlu dilakukan ialah memprioritaskan pengeluaran bersifat kewajiban. Misalnya, pembayaran kredit yang akan jatuh tempo, bayar uang sekolah anak, listrik, air dan lain-lain.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kan tantangannya kemarin pas long weekend sudah keluar (dana) cukup banyak dan kemudian mesti bertahan sampai gajian berikutnya di mana itu mungkin masih ada sekitar 2 mingguan lagi paling nggak," katanya kepada detikcom, Minggu (14/3/2021).

"Yang mesti diperhatikan kita prioritaskan dulu pengeluaran itu untuk kebutuhan-kebutuhan yang bersifat kewajiban," tambahnya.

ADVERTISEMENT

Tak berhenti di situ, langkah yang kemudian yang harus dilakukan ialah menurunkan gaya hidup. Maksudnya, dengan kondisi keuangan yang terbatas maka yang mesti diprioritaskan ialah belanja atau konsumsi untuk kebutuhan sehari-hari.

Sejalan dengan itu, pengeluaran yang sifatnya tidak mendesak dikurangi atau tidak dilakukan sementara waktu.

"Karena sudah terpakai untuk long weekend ya udah deh sampai nanti gajian nggak makan di kafe dulu, nggak nongkrong di kafe dulu, nggak jajan-jalan dulu, nggak belanja online karena nggak ada kebutuhan yang penting dan urgent," paparnya.

Perlukah untuk berutang? Klik halaman berikutnya.

Andy Nugroho menilai, utang boleh saja dilakukan tergantung urgensinya. Menurutnya, jika utang itu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pokok tidak masalah.

"Tergantung yang dibeli apaan, misalkan yang dibeli kebutuhan pokok, beras, atau sekadar untuk nyambung hidup, daripada kita nggak makan sama sekali berimbas pada kesehatan kita, utang masih diperbolehkan," katanya.

Begitu juga, untuk kondisi yang mendesak lain seperti jika handphone rusak. Padahal, handphone tersebut digunakan untuk bekerja atau aktivitas sehari-hari.

Menurutnya, untuk hal-hal yang sifatnya menunjang gaya hidup sebaiknya tidak dilakukan, seperti misalnya untuk ganti model handphone. Dia melanjutkan, idealnya total utang ialah 30% dari total pengeluaran setiap bulannya.

"Untuk kerjaan kita ya mau nggak mau kita belinya minjem dulu pakai kartu kredit dulu, itu masih diperbolehkan artinya hal-hal yang bersifat darurat," katanya.

"Kalau idealnya total utang kita adalah 30% dari total pengeluaran kita, misalnya penghasilan Rp 10 juta kemudian berapa sih idealnya maksimal saya boleh bayar-bayar utang, cicilan utang saya berapa sih maksimal itu adalah 30% artinya Rp 3 juta dari total penghasilan Rp 10 juta itu tadi. Di dalam Rp 3 juta include cicilan rumah, kendaraan bermotor, kartu kredit ataupun utang-utang yang lain," paparnya.

Persentase cicilan utang bisa saja lebih dari 30%. Namun, Andy bilang, hal itu berisiko pada pengeluaran lainnya.

"Cuma misalnya ternyata satu dan lain hal saat ini total cicilan saya sudah 50% bahkan 70% boleh atau nggak? Ya boleh-boleh aja, impact-nya adalah kebutuhan yang lain bisa jadi nggak mencukupi," terangnya.


Hide Ads