Jakarta -
Industri asuransi tengah dilanda guncangan. Berbagai persoalan mulai dari kasus gagal bayar hingga langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) nampak terjadi di sejumlah perusahaan asuransi RI.
Seperti halnya PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) atau Jasindo, yang menutup 43 kantornya dan mengambil tindak PHK ke 262 pegawainya. Ada pula PT Asuransi Jiwasraya (Persero), di mana sekitar 189 karyawannya terancam kena PHK karena perusahaan akan ditutup total.
Sementara itu, para nasabah WanaArtha Life juga dilanda musibah. Perusahaan baru saja dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 5 Desember kemarin akibat kondisi keuangannya yang tidak sehat, ditambah adanya dugaan kejahatan keuangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menilik tanda-tanda bahaya yang tengah bermunculan ini, nampaknya para nasabah produk investasi asuransi unit link patut mengencangkan sabuk pengaman. Lalu apakah investasi di unit link patut dipertahankan dan masih bisa cuan?
Pengamat Perasuransian Irvan Rahardjo mengatakan, sebaiknya produk asuransi unit link ditinggalkan. Apalagi, ia menyebut, ke depannya model bisnis produk asuransi pun akan mengalami perubahan.
"Asuransi sedang menghadapi banyak masalah. Perlu konsolidasi dan pendisiplinan pasar agar kembali pada praktik bisnis yang prudent dan hati-hati," katanya saat dihubungi detikcom, Senin (12/12/2022).
Irvan menjelaskan, saat ini produk asuransi sedang mengalami transisi dengan SE OJK Nomor 5 tahun 2022 terkait Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi (PAYDI), yang menuntut transparansi yang jauh lebih ketat dan disiplin. Akibatnya, saat ini unit link mengalami penurunan.
"Tapi tidak lama, produk asuransi dihadapkan pada IFRS 17 yang akan merubah business model produk secara total. Terutama dalam soal pengakuan pendapatan. Tidak lagi bisa membukukan premi yang bukan merupakan pendapatan asuransi, melainkan hanya membukukan fee base income," terang Irvan.
IFRS 17 sendiri merupakan standar pengukuran internasional untuk akuntansi kontrak asuransi, yang mana di RI sendiri diterjemahkan menjadi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 74 tentang kontrak asuransi. Irvan mengatakan, nantinya asuransi akan kembali ke pelayanan dan bukan mengejar premi.
"Utamakan bottom line (Laba Operasional) bukan top line (Penjualan/Sales Income)," lanjutnya.
Unit Link Masih Bisa Cuan
Sementara itu, dari sisi perencana keuangan, unit link sendiri masih memiliki potensi cuan. Hal ini diutarakan oleh Perencana Keuangan Andy Nugroho. Ia menjelaskan, produksi unit link sendiri sangat mirip dengan pengelolaan dana entitas reksadana.
"Nah jadi apakah masih punya celah Untuk cuan? Ya masih jawabannya, masih ada," ujar Andy, saat dihubungi terpisah.
"Kita juga harus memahami bahwa yang namanya unit link ini adalah produk one stop solution. Artinya apa? Dia menggabungkan antara proteksi asuransi jiwa unit link itu," tambahnya.
Lihat juga video 'Apakah Asuransi Masuk Harta Warisan?':
[Gambas:Video 20detik]
Lanjut ke halaman berikutnya.
Di sisi lain, menurutnya, di tengah kondisi ekonomi yang penuh gonjang-ganjing ini dan harganya turun, malahan bisa jadi ini merupakan potensi untuk top up lagi dengan harapan ketika ekonomi membaik, nilai investasinya menjadi lebih tinggi.
"Berbahaya atau tidak ya? Kembali lagi ya kalau kita tanya Reksadana berbahaya atau tidak berbahaya. Kalau kita nggak ngerti, berbahaya. Kalau kita asalnya nyebur doang gitu kan berbahaya. Seperti kalau kita beli reksadana yang sifatnya tidak sesuai dengan profil resiko kita, itu berlaku juga di unit link," jelasnya.
Namun, Andy mengatakan, perlu diingat pula kalau fungsi sebenarnya dari produk ini ialah sebagai asuransi jiwa. Apabila masyarakat ingin mendapatkan sisi cuannya, tetap diperlukan pemahaman soal investasi, seperti halnya di reksadana.
Di sisi lain, menurutnya, beberapa kasus PHK dan gagal bayar di industri asuransi bukan berarti mencerminkan industri tengah dalam kondisi yang tidak baik. Alasannya, masih banyak perusahaan asuransi jiwa lainnya yang performanya bagus, bahkan menunjukkan pertumbuhan premi positif.
"Karena kan yang dibayarkan nggak cuma sekedar masalah investasinya. Ya kita kembalikan lagi namanya perusahaan asuransi fungsinya adalah ya memang mereka mengcover untuk kebutuhan asuransi. Yang dibayarkan nggak cuman sekedar klaim investasinya namun juga klaim misalnya ada nasabah meninggal, masuk rumah sakit, dan lainnya, mereka tetap bayar atau nggak? Nah yang harus kita perhatikan seperti itu," ujar Andy.
Unit Link Masih Mendominasi Pendapatan Premi Industri
Sebelumnya, Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon sempat menyampaikan kinerja industri asuransi pada semester I-2022.
Dalam paparannya itu, terlihat total pendapatan premi industri asuransi jiwa masih didominasi oleh produk asuransi jiwa unit link dengan kontribusi sebesar 59,3%. sementara 40,7% lainnya berasal dari produk asuransi jiwa tradisional.
"Hampir 60% dari pendapatan premi semester I 2022 untuk industri asuransi jiwa masih datang dari produk unit link. Pendapatan premi dari produk asuransi jiwa unit link membukukan total pendapatan premi sebesar Rp 56,7 triliun, sementara dari produk asuransi jiwa tradisional Rp 39 triliun," katanya, dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (6/9/2022).
Budi menyampaikan, industri asuransi jiwa sendiri pada semester I-2022 mencatat total pendapatan sebesar Rp 105,4 triliun. Capaian itu turun 12,3% dibandingkan periode yang sama tahun 2021 sebesar Rp 120,2 triliun.
Budi mengatakan, penurunan pendapatan cenderung disebabkan oleh menurunnya pendapatan premi yang berkontribusi sebesar 90,7% terhadap total pendapatan.
"Namun demikian jika ditarik lebih jauh, pencapaian ini masih jauh lebih baik dari hasil capaian industri pada masa awal pandemi di 2020 (yang sebesar Rp 73 triliun di semester I-2020)," tambahnya.
Total pendapatan premi industri asuransi jiwa tercatat Rp 95,7 triliun. Secara umum terjadi penurunan 8,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Meski begitu, pendapatan premi dari bisnis syariah, asuransi kumpulan, serta pembayaran reguler disebut mencatatkan pertumbuhan.
Di sisi lain total tertanggung juga naik 19,1% menjadi 73,9 juta orang, terdiri dari tertanggung perorangan menjadi 21,9 juta orang dan tertanggung kumpulan menjadi 52 juta orang.