Berdasarkan data OJK per Maret 2023 penyaluran kredit tumbuh 9,93% menjadi Rp 6.445,5 triliun. Ditopang oleh kredit investasi yang tumbuh 11,4% yoy, lalu kredit modal kerja tumbuh 9,52% dan kredit konsumsi tumbuh 9,2%. Kemudian rasio non performing loan (NPL) net perbankan tercatat 0,72% lalu secara gross 2,49%, rasio kredit bermasalah ini terus berada dalam tren penurunan.
OJK juga menyebut dari sisi profitabilitas, peningkatan laba bank kuartal I 2023 masih sejalan dengan proyeksi rencana bisnis bank (RBB) yang terutama didorong oleh pertumbuhan kredit dan fee based income serta perbaikan kinerja surat berharga. Kini permodalan perbankan masih berada di level 34,69%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bank domestik kini mempunyai fundamental yang baik dan ekspektasi pertumbuhan kredit tahun ini juga lumayan tinggi dengan mempertimbangkan ketidakpastian dan volatilitas di pasar modal global maupun domestik serta kemungkinan resesi global," katanya.
Dia mengungkapkan jika dilihat salah satu faktor utama yang membuat kegagalan beberapa bank lapis kedua di Amerika (yang di luar top 10) adalah a run on the banks. Itu terjadi ketika depositors sekaligus menarik dana mereka dari bank tersebut yang mereka mempunyai akun di karena ketakutan gagal bayar.
Jadi aksi ini oleh deposan dan investor yang menarik dana mereka dari banks tersebut terlepas dari fundamentals yang sebenarnya. Kita tidak terlihat masalah ini di Indonesia. Dan untuk sektor perbankan domestik itu didominasi oleh 4 bank besar (yaitu BBCA, BMRI, BBRI dan BBNI).
Berdasarkan data per closing hari tanggal Mei 4 kemarin 4 emiten perbankan tersebut mencakup lebih dari 70% sektor keuangan seluruhnya. Dan risiko a run on the banks ketika akan terjadi di Indonesia sangat minim untuk emiten perbankan ini.
"Dan karena mereka mempunyai fundamentals yang bagus serta prospek bisnis yang baik dan bisa mencaplok pertumbuhan kredit tahun serta mempunyai valuasi yang sangat menarik yakni undervalued menurut sektor keseluruhnya juga positif berdasarkan dampak dan bobot emiten tersebut terhadap sektor nya," ujarnya.
Selain itu beberapa bank lapis ke dua atau mid-caps juga klihatan menarik secara valuasi dan berdasarkan potensi bisnis mereka seperti BBTN. Jadi kesimpulannya sektor perbankan di Indonesia masih bagus.
"Menurut saya sektor konsumen primer juga positif karena kalau kita lihat sektor ini secara historis sangat resilient terhadap efek ketidakpastian geopolitik maupun ekonomi. Selain itu banyak big caps di sektor tersebut mempunyai fundamentals yang solid dan prospek bisnis yang kuat," jelasnya.
Tekanan Ekonomi AS
Memang tak cuma AS, tekanan ekonomi juga terjadi di berbagai negara seperti naiknya harga energi, makanan, komoditi hingga harga barang dan jasa. Harga yang naik gila-gilaan ini juga berpengaruh pada biaya hidup masyarakat, bunga kredit hingga imbal hasil surat utang negara.
Untuk merespon hal tersebut, bank sentral AS The Federal Reserve mengerek suku bunga mereka secara agresif. Bahkan merupakan suku bunga tertinggi dalam kurun waktu 16 tahun yaitu di level 5% hingga 5,25%. Kalangan ekonom menyebut jika suku bunga ini telah sesuai dengan ekspektasi pasar. Serta ini adalah kenaikan suku bunga yang terakhir.
Namun saat ini AS juga masih dibayangi dengan bangkrutnya sejumlah bank. Terakhir adalah First Republic Bank yang kini diambil alih oleh Federal Deposit Insurance Corporation. Tak cuma itu sebagian besar aset bank telah dijual ke JPMorgan Chase.
Profesor Columbia University Joseph Stiglitz menyebut hancurnya Silicon Valley Bank (SVB) bisa menimbulkan krisis yang lebih dalam. Bahkan investor dan para pemilik dana berpotensi tak lagi percaya dengan jaminan yang Fed berikan.
"Hanya reformasi dari penjaminan simpanan, tata kelola, peraturan dan pengawasan yang ketat untuk bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada bank dan kredibilitas The Fed," ujar dia dikutip dari CNN.
Saksikan juga Sosok pilihan minggu ini: Maestro Kaligrafi Indonesia
(kil/das)