-
Jakarta dianggap sudah tidak layak menjadi ibu kota negara lantaran banyak 'penyakit' yang dihadapinya, mulai dari masalah lalu lintas hingga banjir.
Pindah ibu kota memang tak menghilangkan seluruh beban Jakarta. Tetap harus ada pembenahan yang dilakukan.
Pengamat tata kota Yayat Supriatna mengungkap 'penyakit' yang tengah dihadapi oleh Jakarta sebagai ibu kota negara. Lantas bagaimana menyembuhkannya?
Yayat berpandangan pemerintah serius ingin memindahkan ibu kota. Apalagi saat ini Jakarta dia anggap sedang 'sakit'.
"Begini, kalau pemerintah sudah membuat kajian dan presiden sudah memutuskan ini serius. Karena bukan apa-apa, pemerintah pusat itu bekerja di atas kota yang sedang sakit, atau kota yang sedang punya masalah besar," katanya saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Kamis (2/4/2019).
Dia mengatakan, saat ini Jakarta dibebani masalah kemacetan, banjir, hingga masalah lainnya. Untuk itu, dia menganggap pemerintah serius. Pasalnya akibat masalah yang ada di Jakarta, pemerintah pusat tak bisa fokus memikirkan masalah yang lebih luas.
"Jadi tidak bisa konsentrasi penuh untuk memikirkan lebih luas dari itu," sebutnya.
Dia memahami lamanya implementasi pemindahan ibu kota ini. Dia menilai memang itu tidak bisa dilaksanakan secara instan.
"Begini, membangun kota itu bukan kayak Bandung Bondowoso dalam semalam, bukan Roro Jonggrang, bukan Sangkuriang, (pemindahan ibu kota) dia butuh 10, 20, 30 tahun," jelasnya.
Yayat menjelaskan penyakit yang dia maksud mulai dari kemacetan hingga banjir. Itu tentu menyebabkan kerugian yang tidak sedikit.
"Kerugian karena kemacetan, kerugian karena kebanjiran, kerugian karena kebakaran, kerugian karena penurunan permukaan tanah, jadi kita mengeluarkan uang hanya untuk mengatasi masalah, masalah, dan masalah," jelasnya.
Menurut Yayat, penyakit Jakarta ada yang berasal dari dalam maupun luar Jakarta.
"Jadi banyak masalah Jakarta yang sumbernya dari luar, urbanisasi, persoalan banjir, persoalan kemacetan, itu harus diakui masalah utama yang terjadi, itu ada di dalam, ada di luar," sebutnya.
Selain itu, dia menilai banyak sumber daya yang ada di Jakarta berasal dari wilayah sekitarnya seperti Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang. Dengan kata lain Jakarta bergantung pada wilayah sekitarnya untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
"Jadi banyak yang sebetulnya sumber daya Jakarta sangat tergantung dengan mitra-mitra wilayah sekitarnya," tambahnya.
Pengamat tata kota Yayat Supriatna mengatakan, untuk menyembuhkan 'penyakit' di Jakarta, Pemprov DKI Jakarta tak bisa melakukannya sendiri.
"Tidak mungkin Jakarta yang sakit diselesaikan oleh seorang gubernur, Jakarta yang sakit harus diselesaikan bersama-sama," katanya saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Kamis (2/5/2019).
Kawasan sekitarnya atau Bodetabek juga harus dilibatkan dalam hal itu. Dengan pemerintah pusat pun Jakarta harus memperkuat kerja sama menangani penyakit yang ada.
"Contoh penanggulangan banjir, kenapa masih terjadi, apa perbedaan sudut pandang antar Kementerian PUPR dan DKI, di mana letak masalah koordinasinya gimana, bagaimana dengan kabupaten terkait dengan penanganan air di puncak dan lain-lain. Pola-pola kerja sama yang saling melengkapi itu lebih penting," jelasnya.
Di samping itu, dia menilai Jakarta harus lebih melibatkan masyarakat, misalnya untuk mencegah banjir dengan cara tidak membuang sampah sembarangan.
"Nah yang lain, Jakarta itu belum banyak memberdayakan masyarakatnya untuk terlibat atasi masalah bersama, misalnya gerakan cinta Jakarta, cinta untuk tidak membuang sampah sembarangan," tambahnya.