Lalu apa sebenarnya yang membuat harga rumah tapak semakin tak terjangkau?
Menurut pandangan Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata selaku pengembang, ada beberapa faktor yang membuat harga rumah begitu mahal. Salah satunya adanya kandungan non produksi dalam penetapan harga rumah.
"BPHTB mislanya, sekarang kan sudah 5%. Cuma maslahnya ada ini di pemerintah daerah bukan pemerintah pusat. Pemda kan ada 400 sekian yang punya pandangan berbeda. Mereka mengandalkan bahwa BPHTB pemasukan daerah," ujarnya kepada detikFinance.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biasanya pengembang menawarkan gimmick bebas BPHTB. Padahal terkadang BPHTB sudah masuk dalam harga jual yang ditalangi terlebih dulu oleh pengembang.
"Ini kan kalau BPHTB bisa dibuat kebijakan pusat dan bisa dilaksanakan di daerah, misalnya 1% atau bahkan di 0% kan, itu akan membantu konsumen," tambahnya.
Tak hanya BPHTB, masih ada sederet komponen biaya non produksi dalam harga jual properti. Misalnya biaya KPR yang rata-rata 5% dari plafond yang ditanggung pihak bank. Di dalamnya termasuk asuransi KPR.
Selain itu ada juga pajak penjual atau pajak penghasilan (PPH) dari pengembang sebesar 5% dari harga jual. Unsur ini juga membuat pengembang memutar otak mematok harga jual.
Belum lagi ada biaya notaris yang menyiapkan untik atka jual beli (AJB) dan akta kredit. Belum lagi biaya tetekbengek lainnya yang biasanya dimasukan dalam kandungan harga jual.
"Jika konsumen semakin tidak terbebani biaya-biaya itu, mereka bisa mendapatkan kualitas rumah yang baik juga," tambah Soelaeman.