Paulus meminta adanya penundaan cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Pasalnya, banyak debitur yang tidak mampu bayar cicilan karena dirumahkan bahkan jadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi COVID-19.
"Khususnya untuk rumah sederhana bersubsidi, mereka itu banyak yang dirumahkan oleh industri dia kerja, kelas buruh ini, atau yang dulunya kerjanya setiap hari, sekarang seminggu 1-2 hari. Kalau disuruh ngangsur rumah kan nggak kuat, jadi end user-nya yang nggak berani merealisasikan. Itu kita butuh dia untuk menunda misalnya 6 bulan, hitung bungannya nggak apa-apa dia sanggup kok bayarnya, orang bunganya juga untuk rumah sederhana kan 5%," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian untuk sektor properti non hunian seperti pusat perbelanjaan dan hotel, dia meminta diberikan relaksasi pajak PPh final sewa dari 10% menjadi hanya 5%.
"Untuk non hunian kita minta tetap pemerintah serius dan menangani relaksasi bukan hanya kredit tapi memberikan batasan-batasan. Relaksasi itu antara lain PPh final sewa untuk mal, itu kita kenanya cukup besar di 10%, kita minta turun di sekitar 5%," imbuhnya.
Kemudian, dia juga meminta adanya pemberian fasilitas dalam bentuk penghapusan sanski administrasi perpajakan berupa bunga atau sunset policy.
"Kita minta ada sunset policy supaya uang yang belum dilaporkan dalam SPT itu bisa menggairahkan perputaran ekonomi termasuk di bidang real estat karena yang kemarin di tax amnesty itu kan yang ikut baru 15%. Jadi masih ada uangnya orang Indonesia di perusahaan yang 85% belum dilaporkan. Ini kan jadi stuck, daripada kita utang bank, kasih lah relaksasi," ucapnya.
(fdl/fdl)