Markaz Syariah vs PTPN Berkutat di Masalah Pembelian Lahan Petani

Markaz Syariah vs PTPN Berkutat di Masalah Pembelian Lahan Petani

Tim detikcom - detikFinance
Senin, 28 Des 2020 05:52 WIB
markaz syariah
Markaz Syariah/Foto: 20detik
Jakarta -

Sengketa lahan hak guna usaha (HGU) antara Markaz Syariah pimpinan Habib Rizieq Shihab dan PTPN VIII kian panas. Masalah lahan Markaz Syariah kini terfokus pada masalah pembelian lahan dari petani.

Kuasa Hukum Habib Rizieq, Ichwan Tuankotta mempertanyakan kesalahan dalam pembelian lahan petani tersebut. Sebelumnya, pembelian tanah Markaz Syariah ini dinilai salah oleh Kementerian ATR/BPN.

Dia menjelaskan, PTPN VIII awalnya menelantarkan tanah yang kini jadi tempat berdirinya Markaz Syariah lebih dari 25 tahun. Kemudian, tanah yang ditelantarkan itu dibeli oleh Habib Rizieq dari petani.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Petani, kata dia, adalah pihak yang mengelola atau pihak penggarap tanah terlantar itu.

"Karena Habib Rizieq membeli lahan itu dari para petani, penggarap, yang pada saat itu memang tanah tersebut sudah ditelantarkan dan terbengkalai oleh pihak PTPN VIII, begitu. Nah, karena tanah itu sudah ditelantarkan dan dikelola oleh pihak penggarap, dalam hal ini warga petani di sekitar situ, itu sudah dari tahun 1991. Jadi sudah 25 tahun lebih tanah itu ditelantarkan," kata Ichwan, Minggu (27/12/2020).

ADVERTISEMENT

Dia menjelaskan, seseorang atau badan usaha bisa membeli tanah yang diterlantarkan. Hal itu mengacu Pasal 34 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

"Karena tanah itu ditelantarkan, konsekuensinya di dalam Undang-Undang Agraria tahun 60, itu ada kaitan tentang penelantaran, ya. Di sini disebutkan di Pasal 34 yang saya baca, kalau HGU itu ditelantarkan, otomatis menjadi hapus haknya, begitu," lanjutnya.

Bagaimana aturannya? Klik halaman berikutnya.

Untuk diketahui, Pasal 30 Ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 1960 menyebut, yang dapat mempunyai HGU ialah (a) warga negara Indonesia dan (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Di Ayat 2 dijelaskan, orang atau badan hukum yang mempunyai HGU tidak memenuhi syarat sebagaimana tersebut dalam Ayat 1 dalam jangka waktu satu tahun wajib melepas atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak lain yang memperoleh HGU jika ia tidak memenuhi syarat tersebut.

"Jika hak guna usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah," lanjut Pasal 30 Ayat 2.

Pasal 31 menyatakan, HGU terjadi karena penetapan pemerintah. Di Pasal 32 Ayat 1 disebutkan, HGU termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

Di Pasal 32 Ayat 2 tertulis, pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

Ada sejumlah hal yang membuat HGU dihapus sebagaimana diatur dalam Pasal 34. Berikut rinciannya:

a. jangka waktunya berakhir
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
d. dicabut untuk kepentingan umum
e. diterlantarkan
f. tanahnya musnah
g. ketentuan dalam pasal 30 ayat 2.

BPN meyakini petani tak punya sertifikat. Klik halaman berikutnya.

Kementerian ATR/BPN sebelumnya merespons pernyataan Tim Advokasi Markaz Syariah yang membeli lahan dari petani. Pernyataan Tim Advokasi itu merupakan respons atas somasi PTPN VIII selaku pemilik lahan.

Juru Bicara BPN Teuku Taufiqulhadi menilai, jika pembelian tanah petani dijadikan sebagai legal standing maka itu sesuatu yang salah. Ia juga meyakini, petani yang menjual lahan itu tidak punya sertifikat.

"Tim hukum MRS (Muhammad Rizieq Shihab) mengatakan telah membeli tanah itu pada petani, dan jika itu yang disebut legal standing-nya, maka itulah yang salah," kata juru bicara BPN, Teuku Taufiqulhadi.

"Petani ini tidak memiliki hak menjual tanah yang bukan miliknya. Petani itu pasti tidak memiliki sertifikat tanah yang menunjukkan hak miliknya," tambah Taufiqulhadi.

Mantan anggota Komisi III DPR RI itu menyebut petani tidak boleh menjual tanah jika tidak ada fakta kepemilikan. Pembelian tanah untuk Markaz Syariah itu disebut tidak sah.

"Karena tidak ada fakta kepemilikan, petani ini tidak boleh menjual. Jika ada pihak yang membeli lahan pada petani itu yang tidak sah itu, maka pembeli itu sama dengan tukang tadah barang gelap. Itu bukan pembeli beritikad baik namanya," ucap Taufiqulhadi.

"Karena pembeli ini sudah tahu, penjualan ini tidak sah karena tidak didukung bukti-bukti kepemilikan," kata Taufiqulhadi.


Hide Ads