3. Khawatir Pemerintah Sewenang-wenang
Dari RUU yang dia pelajari, dia berpendapat tarif PPN 5% sampai 15% bisa diubah pemerintah tanpa 'ruang publik' atau dengan kata lain tidak terbuka.
"Dengan disahkannya RUU ini otomatis tidak ada ruang publik lagi ketika suatu saat (tarif PPN) meningkat. Jadi dengan sahnya (RUU HPP) ini, otomatis pasal ini sah dan tidak ada ruang bagi publik untuk dibahas lebih luas karena ini undang-undang ini sudah mengikat, dan tidak perlu ada undang-undang baru. Ini yang saya kira menjadi titik kritis," lanjut Tauhid.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut keterangannya, nantinya perubahan tarif PPN cukup dipayungi dengan peraturan pemerintah (PP) setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas dalam penyusunan RAPBN.
"Ini kan cukup mengkhawatirkan dalam bentuk PP. PP tidak cukup untuk membahas kenaikan tarif PPN karena ada ruang publik yang harus dibuka dan sebagainya, tidak cukup pemerintah, tapi perlu didengarkan melalui forum parlementer," ujarnya.
4. Kontraproduktif Buat Pemulihan Ekonomi
Dia juga menyebut kenaikan PPN 11% tahun depan kontraproduktif terhadap upaya pemulihan ekonomi karena kebijakan itu justru bisa menjadi penghambat.
"Banyak usaha yang saat ini baru mulai melakukan upaya untuk mendapatkan akses pinjaman dan sebagainya tapi sudah dihantui nanti kenaikan perpajakan menjadi 11%. Ini memang akan ditransmisikan ke konsumen yang akan dibebankan, tapi saya kira memang pada akhirnya dikhawatirkan ini akan menurunkan omzet pelaku usaha," terang Tauhid.
Lalu, ketika PPN dinaikkan menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025, berdasarkan perhitungan Indef akan menyebabkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia turun, upah riil turun, hingga ekspor turun.
Simak Video "Video: Ada 10 Ribu Lebih Tanda Tangan di Petisi Tolak PPN 12%"
[Gambas:Video 20detik]