5. Jadi PR Buat Pemerintahan Baru
Pemerintahan baru di 2024 nanti pun, lanjut dia akan dibebankan warisan kenaikan PPN. Sebagaimana bunyi salah satu pasal di RUU HPP, kenaikan PPN 12% paling lambat berlaku 2025.
"Pemerintahan baru yang akan datang itu akan mempunyai beban, baru mulai memerintah harus melakukan kenaikan PPN sebesar 12%, menjadi berat di saat baru selesai pilpres tapi sudah harus melakukan kenaikan pajak. Ini yang saya kira memang kalau ini dilakukan di akhir 2024, tahun 2025 ini saya kira cukup berat bagi siapapun pemerintahan baru ketika dipaksa menaikkan tarif PPN sebesar 12%," tambah Tauhid.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
6. Kenaikan PPN Dinilai Tidak Perlu
Pihaknya menilai dalam rangka pemulihan ekonomi tidak perlu kenaikan tarif PPN. Sebab, masalahnya bukan soal tarif tapi soal basis data. Selain itu perlu dikaji kembali penurunan ambang batas PKP karena ada celah bagi perusahaan memanfaatkan pajak final 0,5%.
Jika melihat basis pajaknya sendiri, sektor industri, perdagangan, dan jasa cukup tinggi. Di sisi lain menurut Indef ada sektor yang kontribusi PDB-nya tinggi tapi sumbangan pajaknya rendah, khususnya di sektor konstruksi. Menurut Tauhid itu perlu ditingkatkan terutama untuk basis pajak.
"Saya kira kalau dari segi data yang lapor PPN itu jauh lebih rendah dibandingkan populasi atau konsumsi. Artinya konsumsi kita tinggi, 58% PDB, tapi pelaporan PPN melalui dunia usaha yang mungkin relatif lebih kecil. Nah ini ada loophole dari sisi ini yang saya kira penting," lanjutnya.
Terakhir dia menilai digitalisasi PPN menjadi agenda utama untuk peningkatan produktivitas PPN. Dia berpendapat produktivitas PPN di Indonesia dibandingkan negara tetangga memang tidak buruk, tapi masih lebih rendah dibandingkan Thailand dan Vietnam.
Simak Video "Video: Ada 10 Ribu Lebih Tanda Tangan di Petisi Tolak PPN 12%"
[Gambas:Video 20detik]
(toy/zlf)