Kejanggalan terjadi ditemukan saat pihak Erick melakukan due diligence alias survei terhadap INPP. Pihaknya menilai modal dari INPP untuk melanjutkan proyek tidak jelas. Bahkan, INPP mengakuisisi PDS pun cuma dengan modal Rp 1 juta.
"Di situ kita kaget, INPP itu cuma kasih Rp 1 juta beli saham ke PDS. Padahal PDS aja setoran modalnya Rp 78 miliar. Belum lagi apartemen kita aja asetnya bisa Rp 2-3 triliun," ungkap Erick.
Dari situ Erick dan kawan-kawan mulai ragu dengan INPP, makanya dia dan 210 orang lainnya menolak penawaran Perjanjian Perdamaian PKPU yang salah satu isinya adalah masuknya INPP. Dia bilang tidak ada jaminan yang jelas dari INPP bisa melanjutkan proyek. Modal yang disetor pun cuma Rp 1 juta ke PDS sebagai developer apartemen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lu tunjukin punya modal dong. Modalnya nggak ada. Cuma ada satu dokumen isinya penjaminan INPP bisa lanjutkan apartemen ini," ungkap Erick.
Bahkan, Erick pun bertanya-tanya, sebagai perusahaan terbuka, mengapa INPP sampai mau mengakuisisi PDS yang memiliki proyek mangkrak. Bahkan, PDS juga disebut punya utang sampai US$ 25 juta dari pihak luar negeri.
"Sebagai perusahaan terbuka kok bisa-bisanya dia ambil PDS yang asetnya bermasalah? Ada utang luar negeri 25 juta dolar. Kok nggak meyakinkan? Kami jadi nggak percaya," ungkap Erick.
Sebagai tambahan, INPP juga sudah menyatakan masih membutuhkan uang sejumlah Rp 400 miliar untuk melanjutkan 3 proyek properti di tahun 2022 termasuk Antasari 45.
"Kok cuma Rp 400 miliar? Lah proyek kita aja sampai Rp 2-3 triliun kok bisa cuma Rp 400 miliaran doang, untuk tiga proyek pula. Modalnya ini dari mana, itu yang kami tanyakan," ujar Erick.