Sektor properti China sedang berada dalam krisis besar. Perusahaan-perusahaan properti besar di negara itu tengah terjerat masalah utang luar negeri, salah satunya Ronshine.
Ronshine China Holdings Ltd diketahui belum melakukan pembayaran bunga atas 2 surat utang yang diterbitkan perusahaan. Kedua surat utang itu diketahui memiliki tenor hingga Juni 2023 dan Desember 2023 dengan nilai total US$ 27,9 juta atau setara Rp 418 miliar (kurs Rp 14,988.55). Kondisi ini memberikan pukulan baru bagi pasar properti di China.
Dilansir melalui Reuters, Senin (11/7/2022) Ronshine mengumumkan bahwa perusahaan belum melakukan pembayaran bunga itu melalui keterbukaan informasi di Busa Efek Hong Kong pada Minggu (10/07).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ronshine seharusnya membayar bunga atas surat utangnya pada 9 Juni yang lalu dan memiliki masa tenggang 30 hari. Nilainya sebesar US$ 12,798 juta (Rp 191,8 miliar) atas surat utang senior dengan kupon 8,1%.
Perusahaan juga mengatakan belum melakukan pembayaran bunga US$ 15,07 juta (Rp 225,9 miliar) atas surat utang senior dengan kupon 7,35% yang jatuh tempo Desember 2023. Bunga itu harusnya dibayarkan pada 15 Juni lalu dan memiliki masa tenggang 30 hari untuk membayar bunga.
"Mengingat posisi likuiditasnya saat ini, grup tidak dapat menjamin bahwa mereka akan dapat melakukan kewajiban pembayaran bunga atas surat utang yang disebutkan di atas dan surat utang lainnya ketika jatuh tempo atau dalam masa tenggang yang relevan," kata Chairman Ronshine Ou Zonghong.
Zonghong mengatakan, sejauh ini pihaknya belum menerima pemberitahuan mengenai percepatan pelunasan dari pemegang surat utang Juni 2023 atau Desember 2023.
Ia menambahkan, pihaknya berharap kreditur akan memberikan waktu penyangga tertentu untuk menyelesaikan masalah pendanaan, dan bermaksud untuk melibatkan penasihat eksternal untuk mencari solusi yang layak dengan kreditur luar negeri untuk mencari solusi atas utang yang relevan.
Sebagai tambahan informasi, Sektor properti China telah dilanda kewajiban pembayaran utang luar negeri. Salah satunya yaitu China Evergrande Group, yang pernah menjadi pengembang terlaris di negara itu tetapi sekarang menjadi perusahaan properti paling berhutang di dunia.
Tiga dari lima emiten teratas - Evergrande, Kaisa Group dan Sunac China - telah mengalami gagal bayar utang obligasi dolar mereka.
Pernyataan dari Ronshine tersebut muncul seminggu setelah saingannya Shimao Group mengatakan mereka melewatkan pembayaran bunga dan pokok obligasi luar negeri senilai US$ 1 miliar.
(das/das)