Berdasarkan catatan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang dipresentasikan oleh Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (PHPT) Kementerian ATR/BPN Suyus Windayana, kepemilikan properti pada 6 tahun terkahir sebanyak 131 properti. Lalu pada 2017 s.d 2019, kepemilikan properti mencapai angka 52 properti.
Sementara itu, sejak ditetapkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) pada 2020 s.d 2023 ini ada sebanyak 79 properti atau meningkat 52% dari periode sebelumnya. Namun demikian, angka ini didominasi pada peningkatan properti di 2021 yakni sebanyak 55 properti. Sejak itu, jumlah penambahannya terus mengalami penurunan.
Wakil Ketua DPP Real Estate Indonesia (REI) Bidang Peraturan dan Regulasi Properti, Ignesjz Kemalawarta mengatakan, ada sejumlah hal yang menurutnya jadi penyebab utama dari minimnya angka pertumbuhan pembelian properti di Indonesia itu, yakni implementasi regulasi di lapangan. Hal ini pun akhirnya menimbulkan sejumlah permasalahan hingga menghambat birokrasi para WNA ini.
Pertama ialah penafsiran Kitas. Ignesjz mengatakan, para WNA ini tetap dimintai syarat pemberian kartu izin tinggal sementara (Kitas) saat akan buka rekening. Padahal, dalam ketetapan barunya, Kitas bukan menjadi syarat satu-satunya. WNA bisa menggunakan dokumen lainnya seperti paspor hingga visa.
Selanjutnya, pajak bumi dan bangunan (PBB) dalam tanah bersama yang tidak dimiliki WNA. Dengan adanya pemilik asing di lingkungan tersebut, pemikiran awal PBB tanah bersama tidak diperhitungkan. Adapun seharusnya para WNA ini tetap membayarkan PBB atas bangunan termasuk tanah bersama, sebagaimana tertera pada UU Pajak No. 1/2022.
"Karena sebelumnya orang tuh tanya bayarnya gimana nih, kan bukan tanah bersama. Itu sudah diputuskan. Tetapi loginya pengembang ada PR," katanya, dalam Indonesia CEO & Leader Forum 2023 by Rumah.com, di The Langham Hotel SCBD, Jakarta Selatan, Selasa (16/5/2023).
Berikutnya, tidak ada pedoman bagi para WNA subjek pajak luar negeri (SPLN) membayar BPHTB untuk divalidasi. Hal ini terjadi mengingat WNA tidak diwajibkan memiliki NPWP. Padahal sebelumnya, telah ditegaskan oleh Dirjen Pajak bahwa WNA SPLN tidak menggunakan NPWP sebagai syarat pembayaran dan validasi pajak.
"Akhirnya dikeluarkan surat Dirjen Pajak yang menyatakan SPLN cukup dengan nomor paspor yang berlaku, menggantikan NPWP. Karena dia tidka harus mempunyai NPWP dan tidak wajib melaporkan," ujarnya.
Ignesjz melanjutkan, masalah keempat ialah pemilik hak pengelolaan lahan (HPL) menghentikan proses pengalihan ketika pembeli adalah WNA. Oleh karena itu, menurutnya perlu dibuat petunjuk oleh pemerintah bahwa pengalihan ke WNA sama dengan pengalihan tanah dengan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas tanah negara.
Lalu permasalahn terakhir yang disoroti Ignesjz ialah soal WNA yang sudah dengan nominee alias pinjam nama. Hal ini kerap terjadi, salah satunya untuk pembelian properti di Bali.
"Karena nggak ada aturan, mereka melakukan perjanjian dengan nominee. Lalu itu bisa sampai 300 tahun dia sewa. Ini salah satu logika negara," ujarnya.
Di sisi lain, menurutnya di balik banyaknya permasalahan yang terjadi dalam persoalan pembelian properti oleh asing ini, akar masalah utamanya terletak pada sosialisasi dan kerja sama antara stakeholder terkait. Sehingga, di luar banyaknya pembaruan regulasi, sosilasasi masih perlu terus didorong.
"Bukannya diaturannya, tapi dipelaksanaannya," ujar Ignesjz. (dna/dna)