"Kelemahan daya saing tenaga kerja kita karena mereka 60% lulusan SD dan SMP. Kita mau switch seperti negara-negara dengan tenaga kerja terampil seperti Austria, Swiss, dan Jerman," jelas Airlangga di kantor Kemenperin, Jakarta, Kamis (9/2/2017).
"Padahal di negara itu biaya tenaga kerja sampai β¬ 2.500 sebulan. Bagaimana bisa survive? Karena keterampilan, karena industri dengan value added tinggi. Di sana SMK4 tahun, usia 16 tahun sudah magang, makanya terampil," tambahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kurikulumnya di sana bukan dari Kemendiknas, tapi dari Kadin mereka, atau dari industrinya yang tentukan. Kita mau copy mereka dan kita nasionalkan, itu model sekolah vokasi yang kita dorong," kata Airlangga.
Diungkapkannya, Kemenperin menargetkan ada 1 juta tenaga kerja baru terampil yang dicetak dari SMK sampai tahun 2019.
"Caranya kerjasama dengan industri, industri pegang masing-masing 5 SMK misalnya. Dimana mereka sebagian teori di kelas, separuh lagi praktik di industri. Nah mereka (siswa) dapat uang transport, uang makan, dan sebagainya, ini mau kita dorong. Targetnya 2019 itu 1 juta orang," ujarnya.
"Kalau di 3 negara itu, insinyur itu datang dari vokasi. Dia sekolah SMK 4 tahun, lanjutin jadi insinyur, kalau di Indonesia jadi insinyur story-nya berbeda," katanya lagi. (idr/ang)