Saat ini Pertamina tengah menjalankan 4 proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) alias modifikasi kilang Cilacap, Balikpapan, Balongan, dan Dumai. Selain itu ada 2 proyek Grass Root Refinery (GRR) atau pembangunan kilang baru di Tuban dan Bontang.
Tiap proyek RDMP membutuhkan biaya investasi kurang lebih sebesar US$ 5 miliar atau Rp 65 triliun, sedangkan 1 proyek GRR nilainya sekitar US$ 12,5 miliar alias Rp 162,5 triliun. Artinya semua proyek itu memakan biaya US$ 45 miliar atau Rp 585 triliun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, konsumsi BBM masyarakat terus naik tiap tahun. Dampaknya, impor BBM akan membengkak selama kilang belum selesai.
"Jika proyek kilang mundur tentu akan memerlukan tambahan impor selama periode kemundurannya tersebut," kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, kepada detikFinance, Rabu (7/6/2017).
Komaidi menambahkan, Pertamina harus mencari BBM murah untuk menutup pembengkakan impor akibat mundurnya target operasi kilang.
"Ini perlu dilakukan perencanaan bagaimana impornya bisa murah selama proyek-proyek kilang belum selesai," tukasnya.
Agar proyek-proyek kilang bisa terus berjalan lancar, Komaidi menyarankan porsi kepemilikan swasta diperbesar. Saat ini kepemilikan masih didominasi Pertamina. Di RDMP Balikpapan misalnya, Pertamina memegang 100% saham yang artinya juga menanggung sendiri semua risiko dan biaya investasi.
Di GRR Tuban yang dikerjasamakan dengan Rosneft dan RDMP Cilacap bersama Saudi Aramco, Pertamina juga masih menjadi pemegang saham mayoritas. Perlu dipertimbangkan untuk mengurangi porsi saham Pertamina.
"Itu salah satu ide yang perlu dipertimbangkan. Tapi bagaimanapun kilang merupakan cabang produksi strategis yang harus dikontrol negara. Jadi kontrol pemerintah atau Pertamina dalam operasionalnya harus tetap ada," pungkasnya. (mca/hns)