Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Didik Rachbini, mengatakan kebijakan harga acuan yang bisa dijadikan harga eceran tertinggi (HET) merupakan kebijakan yang bagus. Namun, menurutnya, perhitungan harga beras Rp 9.000/kg kurang masuk akal.
"Presiden mau harga beras Rp 9.000/kg, itu dalam rangka membela konsumen, kalau zaman Orde Baru dikenal ceiling price atau HET. Tapi harga Rp 9.000/kg masuk akal atau tidak? Tidak masuk akal. Hitungannya kurang masuk akal," kata Didik di kantor INDEF, Jakarta, Kamis (27/7/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Adanya patokan harga sudah benar, tapi angka (Rp 9.000/kg) perhitungannya kurang tepat. Harga beras di penggilingan saja sudah Rp 7.800/kg, hampir Rp 9.000/kg. Belum masuk ke gudang, transportasi, dan lainnya," jelas Didik.
Diungkapkannya, harga acuan memang sangat vital agar harga pangan tidak jatuh terlalu dalam yang merugikan konsumen, sebaliknya agar harga juga tak melonjak tajam yang dikeluhkan konsumen.
Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati, mengungkapkan sebaiknya pemerintak tak menggunakan HET tunggal untuk semua jenis beras yang dipatok Rp 9.000/kg. Padahal di sisi lain, ada banyak beras di Indonesia dengan kualitas yang beragam.
"Penentuan HET harus disesuaikan dengan kondisi pasar beras. HET tidak memukul rata seluruh jenis beras yang dijual, ada medium ada premium. Jika tak ada sosialiasi masif, maka menimbulkan kebingungan dan kekhawatiran di level pedagang," ujar Enny.
Pemberlakuan HET pada beras yang bias ini pula, sambungnya, bisa berakibat pada ketidakpastian berusaha di Indonesia lantaran banyak pedagang yang takut digerebek polisi karena dianggap bermain curang terkait harga.
"Ini membuka multi interprtasi dalam penegakkan hukum. Dikhawatirkan akan memicu kebijakan represif, jika tak ada koordinasi, alih-alih memberi efek jera, aksi penggerebekan akan meningkatkan ketidakpastian iklim usaha pangan," tandas Enny. (idr/dna)