Kasus Beras PT IBU Bikin Pengusaha Khawatir, Kok Bisa?

Kasus Beras PT IBU Bikin Pengusaha Khawatir, Kok Bisa?

Eduardo Simorangkir - detikFinance
Jumat, 28 Jul 2017 22:00 WIB
Foto: Eduardo Simorangkir/detikFinance
Jakarta - Pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) berharap kasus beras PT Indo Beras Unggul (IBU) segera diselesaikan. Kejelasan kasus ini harus segera diklarifikasi oleh jajaran pemerintah terkait sehingga tidak menggerus kepercayaan dunia usaha terhadap pemerintah.

"Jadi sudah situasi mikro seperti ini, malah sudah pesimis, ditambah seperti ini dampaknya semakin pesimis. Khawatir untuk berjualan, ini kan dampak luar biasa dan sangat memprihatinkan itu, justru isunya isu utama," kata Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani dalam diskusi media di Gedung Permata Kuningan, Jakarta, Jumat (28/7/2017).

Adanya tuduhan kriminal kepada PT IBU terbukti telah membuat pelaku usaha cukup khawatir. Hal ini tampak pada berkurangnya pasokan ke Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) dalam seminggu terakhir.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Kekhawatiran tersebut ditakutkan dapat merembes ke pelaku usaha di bidang lainnya karena tidak jelasnya kepastian hukum dan aturan di lapangan.

"Pengusaha kan tidak ingin jadi tersangka gara-gara salah penafsiran, ini yang kita khawatirkan. Oleh karena itu jangan sampai kegaduhan ini malah menurun. Jadi ini semacam tolong dipikirkan betul-betul," ujar Hariyadi.

Seperti misalnya dugaan terjadi monopoli ataupun oligopoli di dalam sektor beras. Ketua Tim Ahli Apindo, Sutrisno Iwantono mengatakan, di pasar, posisi sebagai mayoritas bukanlah sebuah pelanggaran, kecuali menyalahgunakan posisi sebagai mayoritas.


Diakui bahwa pemerintah berperan dengan regulasi, tapi bukan justru melarang-larang dalam ruang lingkup yang tidak jelas. Untuk itu diharapkan ada penjelasan yang jelas bagi istilah oligopoli atau monopoli atau kartel yang selama ini dituduhkan. Hal ini agar ada kejelasan bagi sektor usaha lainnya.

"Dikatakan oligopoli kok salah. Bagi satu industri tertentu memang tidak banyak pelakunya. Karena modalnya tinggi, dan lain-lain sehingga susah. Kalau yang salah itu orang menggunakan posisi dominan untuk mengeksploitasi konsumen. Tapi istilah-istilah ini kan membingungkan. Akibat ada oligopoli semua nanti jadi ketakutan. Jangan nanti pelaku usaha lain jadi paranoid," kata Iwantono.

Harga eceran tertinggi

Iwantono menambahkan, untuk negara seperti Indonesia yang mengikuti mekanisme pasar, kebijakan harga eceran tertinggi (HET) tak seharusnya menjadi acuan pemerintah menindak suatu usaha yang diduga melakukan kecurangan. Karena justru bisa melemahkan inovasi dunia usaha dalam menjalankan bisnisnya.

"Harga eceran itu kan dalam pengertian untuk melindungi konsumen. Itu kan semacam alarm kalau kita mau harus dikendalikan. Tapi pengendaliannya jangan dengan cara kriminalisasi. Harus dengan mekanisme pasar," katanya dalam diskusi media di Gedung Permata Kuningan, Jakarta, Jumat (28/7/2017).

Jika di pasar terjadi kenaikan harga, pemerintah harus mengaturnya dengan memastikan stok benar-benar ada di lapangan. Untuk itulah perlunya Bulog sebagai kekuatan yang menstabilisasi harga di masyarakat dan membantu petani sehingga tak jatuh nilai jual barangnya.


"Jadi kalau harganya naik, ya digelontorin barang, supaya harganya turun. Makanya pemerintah itu kan harus kuat stoknya. Stok di Bulog harus cukup apakah harus impor atau apa. Jadi itu adalah trigger. Makanya harus dilakukan operasi," tutur Iwan.

"Tapi tidak mestinya orang yang menjual tidak sesuai HET itu, dianggap kriminalisasi. Negara yang mengakui pasar sebagai mekanisme untuk melakukan proses distribusi, tidak ada kriminalisasi. Harus menggunakan mekanisme pasar juga yaitu barang digelontorkan. Kalau harga panen jatuh, ya dibeli supaya harganya naik. Makanya Bulog harus kuat," tandasnya. (hns/hns)

Hide Ads