Menurut CEO Javara, Helianti Hilman, faktor geografis dan air laut di wilayah tersebut membuat garam di Selat Bali dihasilkan dengan kualitas premium. Garam-garam tersebut biasa dipakai untuk sejumlah restoran-restoran mahal di dunia.
"Dari sisi teknik proses (produksi) berbeda. Bentuknya juga piramid, itu enggak dicetak, itu paling mahal garam di Selat Bali, salah satu yang paling mahal di dunia," kata Helianti kepada detikFinance di kantornya, Kemang, Jakarta, Senin (28/8/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Soal rasa, lanjutnya, bisa dikatakan hampir sama jika menurut orang awam. Namun demikian, karena kualitasnya yang sangat premium, garam dari Selat Bali ini paling dicari oleh para chef di restoran atau hotel elit.
"Dari rasa ada istilahnya beda, kalau buat awam susah. Tapi kalau buat chef-chef mereka tahu garam yang berkualitas. Yang enak yang enggak enak, yang cocoknya buat masakan ini, cocoknya buat masakan itu yang mana, dia tahu sekali," ujar Helianti.
Saking premiumnya, untuk setiap 100 gram, Javara mengemas garam piramid tersebut dalam kemasan batu dengan harga Rp 120.000. Selain para koki, garam mahal asal Bali ini juga dicari para penggila kuliner.
"Ada yang orang-orang biasanya foodie, sangat apresiasi ingredient, enggak cuma makan enak saja, tapi tergoda dengan yang yang mereka anggap eksotik. Di setiap negara selalu ada komunitas begitu, kita suplai ke Australia juga masuk ke chef-chef yang terkenal," ungkap Helianti.
Menurutnya, seluruh produksi dilakukan oleh para petani di Bali. Untuk pasokan sendiri, Javara tidak mematok target pada para petani di Bali.
"Bukan kita yang produksi, kita hanya rediscover potensi di daerah, kita sifatnya menguatkan tradisi yang ada, kuatkan lagi dengan koneksikan ke pasar, artinya kita dengan uji lab dan lainnya. Pengiriman dari Beli tak bisa berbeda-beda, tergantung kemampuan mereka," pungkasnya.