Saling Sanggah Jokowi, Pengusaha dan Pengamat Soal Daya Beli Lesu

Saling Sanggah Jokowi, Pengusaha dan Pengamat Soal Daya Beli Lesu

Hendra Kusuma - detikFinance
Kamis, 30 Nov 2017 06:22 WIB
Foto: Rengga Sancaya
Jakarta - Masalah daya beli masyarakat Indonesia masih belum satu suara antara pemerintah, pengusaha hingga pengamat perekonomian.

Dalam acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia di Jakarta Convention Center, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan daya beli masyarakat Indonesia tidak melemah.

Pernyataannya ini dilandasi dengan data yang telah diterimanya. Di mana, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tumbuh 12,1%, sementara tahun lalu hanya sekitar 2%. Tingginya pertumbuhan PPN menandakan adanya peningkatan transaksi jual beli di tengah masyarakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau PPN tumbuh artinya ada transaksi, ada jual beli," kata Jokowi.

Tidak hanya itu, Jokowi juga membantah daya beli orang RI tidak melemah bisa dilihat dari pertumbuhan konsumsi hotel dan restoran yang tumbuh hingga 5,87% dari sebelumnya 5,43%.


Sementara kalangan usaha menilai bahwa secara statistik memang menunjukan bahwa daya beli masyarakat turun di beberapa sektor, tapi meningkat di sektor lain.

"Pasti dari statistik memang menunjukan tidak melemah, tapi di satu sisi mungkin ada sektor melemah ada sektor lain meningkat, jadi kalau dilihat secara keseluruhan tidak terjadi penurunan," kata Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan Roeslani.

Namun, Rosan membeberkan bahwa ada beberapa hal yang mungkin menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Seperti pergeseran gaya hidup kaum milenial yang lebih senang berbelanja online dan liburan.

"Ada yang bilang karena online, walaupun menurut saya tidak signifikan sangat kecil hanya di bawah 2%, kemudian shifting orang lebih banyak ke liburan. Mungkin karena kaum milenial ini memang lebih milik experience dari pada barang-barang yang mahal, mereka bisa selfie bisa sharing, dari pada beli barang mahal," jelas dia.


Pengamat ekonomi dari Institute dor Economic and Development Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan, peningkatan PPN disebabkan adanya perbaikan administrasi dan meningkatnya kepatuhan wajib pajak pasca tax amnesty.

Dia menyebutkan, daya beli masyarakat Indonesia mangalami pelemahan. Hal itu terkonfirmasi dengan banyaknya perusahaan ritel yang menutup toko. Tidak hanya itu, penurunan daya beli bisa dilihat dari upah buruh tani yang terus tergerus inflasi.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Nilai Tukar Petani (NTP) nasional di bulan Maret 2017 turun 0,38% dibandingkan bulan Februari, dari 100,33 menjadi 99,95.

"Begitu juga dengan upah riil buruh bangunan dalam 3 tahun turun. Kesimpulannya upah nominal masyarakat kelas bawah tidak bisa mengikuti kenaikan harga kebutuhan pokok," kata Bhima.

Menurut Bhima, pelemahan daya beli terjadi di kelas bawah sebab untuk kelas menengah ke atas masih memiliki uang namun lebih memilih untuk menyimpan uangnya di bank.


Dana pihak ketiga (DPK) di perbankan naik dari Rp 4.836,8 triliun di 2016 menjadi Rp 5.142,9 triliun pada September 2017.

"Masyarakat menengah atas cenderung menyimpan uang di bank. Mungkin itu yang dimaksud Pak Jokowi. Sebaiknya membagi daya beli berdasarkan pengeluaran masyarakat, jadi tidak dipukul rata," tambah dia. (mkj/mkj)

Hide Ads