Mulai dari WTC Mangga Dua dan Glodok yang sepi ditinggal pembeli, lalu penutupan cabang yang dilakukan Matahari, Lotus, Debenhams, GAP hingga PT Modern Sevel Indonesia pengelola 7-Eleven (Sevel) yang gulung tikar.
Ada yang bilang kejadian tersebut merupakan pertanda bahwa daya beli masyarakat melesu. Namun ada pula yang bilang bahwa hal itu merupakan imbas dari pola kebiasaan masyarakat yang kini cenderung memilih untuk berbelanja online.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apapun yang penyebabnya, pengusaha berharap pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa memperbaiki kondisi ini sehingga tak ada lagi ritel tutup tahun depan
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani memandang masyarakat kelas menengah menjadi kunci untuk mendorong daya beli di tahun depan. Kemampuan belanja kelas menengah dipandang perlu dijaga dengan baik sehingga mampu menjaga kelangsungan ritel.
"Kembali lagi kepada belanja kelas menengah atas. Kalau tahun depan ini ada persepsi positif kita harapkan dari belanja kelas menengah atas meningkat. Sehingga menggerakkan ritel," tutur Hariyadi kepada detikFinance, beberapa waktu lalu.
Persepsi positif yang dimaksud Hariyadi adalah kebijakan pemerintah yang mampu menggenjot belanja masyarakat. Selain itu, suhu politik yang terjaga di tahun depan juga perlu dijaga sehingga masyarakat tidak menahan belanja.
"Persepsi positifnya adalah konsistensi kebijakan mengacu kepada hal memacu sektor usaha tumbuh. Kedua politiknya kondusif tidak menimbulkan figur-figur yang bisa memecah belah masyarakat," ujar Hariyadi.
Tutupnya ritel dan beralihnya ke perdagangan online juga diprediksi masih belum signifikan terjadi di tahun depan. Sebagian besar masyarakat masih memilih belanja langsung ke toko fisik.
Baca juga: Ritel Berguguran, Tanda Daya Beli Lesu? |
Sedangkan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roeslani mengatakan, ada beberapa hal yang mungkin menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Seperti pergeseran gaya hidup kaum milenial yang lebih senang berbelanja online dan liburan.
"Ada yang bilang karena online, walaupun menurut saya tidak signifikan sangat kecil hanya di bawah 2% (pangsa pasar online). Kemudian shifting orang lebih banyak ke liburan. Mungkin karena kaum milenial ini memang lebih milih experience dari pada barang-barang yang mahal. Mereka bisa selfie bisa sharing, dari pada beli barang mahal," tuturnya kepada detikFinance.
Rosan juga pernah mengusulkan adanya pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada setiap transaksi selama jangka waktu tertentu. Dari kacamata Kadin, PPN selama ini menjadi salah satu komponen yang membuat harga barang lebih tinggi.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Tutum Rahanta menambahkan, tumbangnya sektor ritel di Indonesia disebabkan banyak hal. Dia percaya pelemahan daya beli masyarakat dan perubahaan perilaku belanja masyarakat ke online juga mempengaruhi.
"Ini terjadi karena berbagai faktor, salah satunya daya beli. Tapi faktor lainnya ada shifting online. Betul semua memperngaruhi. Tapi walaupun ada shifting ke online tapi daya beli masih bagus, orang akan lebih lama bertahan tidak akan langsung tutup toko," tuturnya saat dihubungi detikFinance.
Dia yakin industri ritel masih memiliki harapan di 2018. Sebab Indonesia dengan populasi 250 juta lebih, meruapakan pasar yang besar apalagi untuk industri ritel.
Tutum berharap pemerintah bisa menciptakan lebih banyak lapangan kerja yang menjadi kunci untuk mendorong konsumsi masyarakat. Dia berharap target pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4% bisa tercapai yang motornya dari konsumsi masyarakat.
"Pembeli kami masyarakat umum, mereka harapan kami kalau mereka dapat pekerjaan. Kami menjual kebutuhan sehari-hari mereka, tentu kerja tidak kerja mereka tetap butuh makan dan lainnya. Tapi kalau punya pekerjaan mereka akan membelanjakan uangnya secara berkualitas," imbuhnya. (hns/hns)