Rizal Ramli yang sejatinya dijadwalkan bertemu dengan pedagang beras di PIBC itu, mengunjungi pabrik pengolahan beras milik Food Station. Di lokasi itu, dia menyampaikan rasa kagumnya akan Food Station yang berhasil melakukan transformasi bisnisnya sekaligus membantu menyejahterakan petani.
"Food station ini miliknya Pemda DKI. Dulu kerjanya cuma nyewain tanah sama aset gedung di sini ke pedagang pasar. 1,5 tahun terakhir, dia juga melakukan produksi beras dalam arti sorting, memilah, packaging sesuai dengan kualitasnya, untuk suplai ke yang punya kartu Jakarta Pintar, dan juga jual ke 15 ribu outlet-outlet komersial di Jakarta. Mereka beli beras dari daerah, disortir dan sebagainya, dijual ke banyak sekali outlet di Jakarta. Ini contoh yang Pemda lain bisa ikuti," katanya di PIBC, Jakarta, Senin (15/1/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Rizal, tindakan yang dilakukan Food Station ini membantu petani yang selama ini langsung menjual beras dengan kualitas yang terkadang tidak sesuai standar. Ada yang pecahnya kebanyakan, ada yang airnya terlalu banyak. Dengan adanya pabrik seperti ini, maka petani dan konsumen pun bisa senang karena menjual beras dengan harga baik dan mendapatkan beras kualitas yang baik juga.
"Jadi pemda-pemda, tirulah model Food Station ini, terutama 20 kota-kota besar di Medan, Surabaya, dan lain-lain. Supaya kualitas beras petani kita bisa lebih baik dan nilai tambahnya juga lebih tinggi," ujarnya.
Rizal Ramli kemudian mengkritik langkah pemerintah yang akhirnya mengimpor beras. Menurutnya, hal ini seharusnya tak terjadi jika antipasi dilakukan lebih baik, terutama lewat tugas Bulog, yang salah satu tugasnya menjaga stabilitas pasokan dan harga beras.
"Biasanya ada stok cadangan Bulog, sekitar 2-2,5 juta ton. Yang kalau harga naik keterlaluan, Bulog bisa operasi pasar, jual di pasar-pasar sehingga harga turun lagi. Dengan modal stok 2 juta ton, bisa bikin stabil harga pasar 30 juta ton di seluruh Indonesia. TapisyaratnyaBulognya harus aktif. Nah ini celakanya, Bulog tidak aktif,"terangRizal.
Dia bilang, pada tahun 2017, Bulog yang seharusnya membeli gabah dari petani sekitar 2-2,5 juta ton ekuivalen beras, justru hanya membeli setengah dari jumlah itu. Hal ini pun diyakini membuat kondisi stok di lapangan rentan akan adanya risiko kekurangan pasok.
"Kayaknya dari awal sudah ada rancangan untuk mengimpor. Kalau memang beli dari petani 2,5 juta ton, tidak ada kebutuhan akan impor. Perlu dipertanyakan, kenapa Bulog tidak beli sesuai target. Kalau sengaja, ini kasihan sekali pemerintah Jokowi dikerjain," tutur Rizal. (eds/hns)