Belajar dari Korsel hingga Jepang: Sukses Bangun Negara Pakai Utang

Belajar dari Korsel hingga Jepang: Sukses Bangun Negara Pakai Utang

Hendra Kusuma - detikFinance
Rabu, 21 Mar 2018 17:29 WIB
Pembangunan Infrastruktur (Foto: Agung Pambudhy)
Jakarta - Pemerintah Indonesia nampaknya harus belajar mengelola utang dari Korea Selatan (Korsel), China, dan Jepang. Ketiga negara tersebut berhasil membangun negaranya seperti sekarang berkat dari utang.

Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman mengatakan pemerintah belajar mengelola utang dari negara tersebut yang sama-sama gencar membangun infrastruktur dan berujung pada kesuksesan.

"Korsel, Jepang, hebatnya mereka alokasi untuk infrastruktur sektor yang bisa mendorong nilai tambah, itulah produktif," kata Rizal di Kantor Indef, Jakarta, Rabu (21/3/2018).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Jepang berhasil menjadikan industri manufaktur sebagai kekuatan ekonominya salah satunya sektor otomotif. Yang akrab di telinga adalah Negeri Matahari Terbit ini menjadi produsen kendaraan roda empat.

Begitu juga Korea Selatan yang sama-sama merdeka pada 1945 dan pada 1960-an memiliki produk domestik bruto (PDB) per kapita hampir sama dengan Indonesia, menggunakan utang secara produktif untuk membangun SDM dan industrinya.

Korsel menjadi salah satu negara eksportir barang manufaktur berteknologi tinggi utama, mulai dari elektronik, monil/bus, kapal, mesing-mesing, petrokimia, hingga robot.


Bagaimana dengan Indonesia?

Utang pemerintah per Februari 2018 tercatat sebesar Rp 4.034,8 triliun atau meningkat 13,46% jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2017. Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 29,24%.

Berbeda dengan Jepang dan Korsel, Rizal menilai pemerintah Indonesia gencar membangun infrastruktur namun belum memberikan dampak yang nyata terhadap peningkatan produktivitas industri dan efisiensi cost operasional.

Pemerintah, kata Rizal infrastruktur yang dibangun pemerintah sekarang lebih untuk mempemudah pergerakan penumpang, bukan barang. Artinya, infrastruktur untuk mengakomodasi industri tidak teralisasi secara akurat.

"Kalau kita infrastruktur dibangun tidak mendorong produktivitas, sehingga output dan daya saing produk itu tidak tumbuh. Inilah yang saya kira menjadi preseden (contoh) mengkhawatirkan sehingga produktivitas uang itu kita pertanyakan," jelas dia.


Dengan total utang pemerintah yang masih tinggi, Rizal khawatir Indonesia bakal menyusul kisah seperti negara Angola, Zombabwe, Pakistan, dan Sri Lanka yang bangkrut karena tidak sanggup membayar utang.

"Karena adanya kebijakan infrastruktur otomatis dia menyerap tenaga kerja, jadi perubahannya bervariatif, tapi optimistis di sektor ini, ini tidak selamanya naik, kebijakan tidak ada ini flat lagi," kata dia.

Dengan demikian, Rizal menegaskan utang pemerintah yang sudah tembus Rp 4.034,8 triliun jika memang harus membangun infrastruktur harus dilakukan sampai selesai.

"Artinya justru infrastruktur ini mau dilakukan ya harus diselesaikan, karena yang menariknya sesuai fenomena, bukan meningkatkan produktivitas untuk ekspor, justru menurun, malah impornya meningkat, daya saing kita melemah, inilah yang temuan kami, kebijakan infra sebagai alokasi belanja utang selama ini, dampaknya seperti ini. Meskipun ada kebijakan lain," tutup dia. (dna/dna)

Hide Ads