Berdasarkan Peneliti di Institute dor Fevelopment of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman negara-negara yang mengandalkan utang untuk membangun infrastruktur adalah Angola, Zimbabwe, Nigeria, Sri Lanka, Korea Selatan, Jepang, dan China.
Dia mengatakan utang yang menjadi penopang pembangunan infrastruktur di negara tersebut nampaknya tidak semua memberikan hasil positif. Ada beberapa negara di antaranya justru berujung pada kegagalan alias bangkrut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memang, utang tersebut tak melulu digunakan untuk melakukan pembangunan infrastruktur. Seperti diketahui, sejak 1998, Zimbabwe mengirim pasukan dan membeli peralatan dari China untuk membantu Presiden Laurent Kabali melawan pemberontak Uganda dan Rwanda.
Untuk membiayai semua aktivitas tersebut, Zimbabwe harus berutang kepada China dengan akumulasi nilai hingga saat ini mencapai US$ 4 juta atau Rp 54,8 triliun (kurs Rp 13.700).
Namun, akibat tak bisa mengelola utangnya dengan baik, Zimbabwe tidak bisa membayar utang dan akhirnya harus mengikuti keinginan negeri tirai bambu tersebut dengan mengganti mata uangnnya menjadi yuan sebagai imbalan penghapusan utang. Hal itu berlaku sejak 1 Januari 2016 setelah tidak mampu membayar utang jatuh tempo pada akhir Desember 2015
Kegagalan atau bangkrut juga dirasakan Nigeria di mana model pembiayaan melalui utang yang disertai perjanjian merugikan negara penerima pinjaman dalam jangka panjang. China mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal China untuk pembangunan infrastruktur di Negeria.
"Mereka membangun proyek infrastrukturnya lewat utang, akhirnya mereka tidak bisa bayar utang. Banyak beberapa negara, di antaranya Angola mengganti nilai mata uangnya. Zimbabwe juga," ujar dia.
Untuk Sri Lanka juga sama kondisinya tidak mampu membayar utang yang akhirnya pemerintahannya melepas Pelabuhan Hambatota sebesar Rp 1,1 triliun atau 70% sahamnya dijual kepada BUMN China.
"Bahkan Sri Lanka tidak bisa membayar utang, diberikan pelabuhan untuk membayar utangnya, begitu juga dengan Pakistan, sama seperti Sri Lanka," kata dia.
Meski demikian, Rizal mengungkapkan ada juga cerita sukses dari negara-negara yang mengandalkan utang untuk membangun infrastruktur. di antaranya adalah Korea Selatan, China, dan Jepang.
Suksesnya negara tersebut, kata Rizal, membangun infrastruktur yang berasal dari utang langsung kepada sektor yang memberikan nilai tambah, sehingga produktivitas dari industrinya meningkat dan memberikan kontribusi terhadap perekonomian.
Dia mencontohkan seperti Korea Selatan mendapat bantuan keuangan dari Amerika Serikat (AS). Bantuan atau utang tersebut digunakan secara produktif untuk membangun SDM dan industrinya.
Bantuan utang ini tidak membuat Korea Selatan terjebak dalam lingkaran utang seperti yang dialami banyak negara berkembang. Korsel kini menjadi negara pengekspor peringkat delapan dunia setelah China, Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Perancis, Belanda, dan Inggris.
"Mereka alokasi untuk infra sektor yang bisa mendorong nilai tambah, itulah produktif, kalau kita infra dibangun tidak mendorong produktivitas, sehingga output dan daya saing produk itu tidak tumbuh," tutup dia. (dna/dna)