Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan justru pelemahan nilai tukar rupiah memberikan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia.
"Tapi saya optimis ini (pelemahan) jangka pendek, artinya ini lebih banyak efek tekanan psikologis," kata Enny di kantor Indef, Jakarta, Rabu (21/3/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Dolar AS Menguat atau Rupiah Melemah? |
Dampak negatif bagi perekonomian terlihat dari kinerja ekspor Indonesia dalam neraca perdagangan tercatat defisit selama tiga kali alias lebih besar nilai impornya.
Jika pelemahan rupiah menguntungkan kinerja ekspor seharusnya pelaku industri bisa memanfaatkan momentum depresiasi rupiah yang belakangan ini sudah tembus Rp 13.700 per US$.
Menurut Enny, pelemahan rupiah ini justru menjadi kendala bagi industri terutama yang bergantung pada bahan baku impor. Dia mencontohkan seperti industri makanan dan minuman (mamin) yang komposisi bahan bakunya sebesar 70% dari total biaya produksi.
Dengan kata lain, maka industri tersebut harus membeli bahan baku yang lebih mahal saat dolar menguat terhadap rupiah.
"Kalau terjadi depresiasi nilai tukar ya pasti dia tidak akan kompetitif, akan terjadi penurunan kinerja," ungkap dia.
Kinerja ekspor nasional yang belum terbantu dari kondisi pelemahan rupiah karena produk yang diekspornya hanya komoditas.
Dia menyadari harga komoditas bisa melejit tinggi saat pelemahan rupiah. Namun belakangan ini beberapa negara tujuan ekspor komoditas tengah mengendurkan produktivitasnya. Hal itu juga
"Jadi gini dengan asumsi harga komoditas tetap tinggi. Padahal ketika rupiah terdepresiasi besar kemungkinan kinerja dari negara tujuan ekspor kita terutama china, jepang itu juga menurun, artinya produktivitas mereka menurun, harga komoditas tidak sebanding. Jadi percuma kalau terdepresiasi tapi harga komoditasnya turun. Jadi nggak break even point," tutup dia. (dna/dna)