Pengamat ekonomi energi dari UGM Fahmy Radhi menyebut jika melihat aturan yang sudah ada alias yang eksisting, dalam hal ini maka pemerintah menyalahi aturan. Pasalnya di aturan seperti tertulis dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, tepatnya pada Bab V Pasal 28 ayat 2, Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Sementara di aturan yang segera terbit nanti harus atas restu pemerintah.
"Memang peraturan yang saat ini itu memberikan kebebasan bagi Pertamina untuk menaikan atau menurunkan harga Pertamax, termasuk Pertalite juga," katanya kepada detikFinance, Jakarta, Senin (9/4/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi apakah ini melanggar aturan yang eksisting memang itu dilanggar, tetapi kan Pak Wamen (Arcandra Tahar) akan menerbitkan lagi Permen yang membolehkan pemerintah menyetujui kenaikan harga. Nah peraturan yang akan diterapkan akan mengubah peraturan tadi yang mewajibkan Pertamina untuk mengkonsultasikan atau meminta persetujuan lah pada pemerintah pada setiap kali memutuskan kenaikannya," lanjutnya.
Dia pun tak menyangkal kalau harga BBM yang naiknya harus atas persetujuan pemerintah bakal membebani perusahaan.
"Memang, bahkan Premium sekalipun kan tidak diberikan lagi subsidi oleh pemerintah maka pada saat harga minyak tinggi Pertamina menjual di harga keekonomian dan itu yang disebut dengan potensial lost. Makin tinggi akan semakin besar potensial lost yang ditanggung oleh Pertamina," lanjutnya.
Namun ada kalanya, harga minyak di pasaran turun tapi harga BBM tidak ikutan turun. Menurut dia kondisi ini bisa menutupi kerugian Pertamina.
"Pendapatan Pertamina itu jadi pada saat harga tinggi memang beban berat, tapi saat rendah sesungguhnya Pertamina akan peroleh tambahan pendapatan dalam jumlah yang besar," tambahnya.