-
Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terus menunjukkan keperkasaannya terhadap
. Sempat melemah usai Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin (bps).
Sore kemarin (2/7/2018). Nilai
kembali menguat dan menyentuh level Rp 14.400.
Langkah BI menaikkan suku bunga BI 7 Days Reverse Repo Rate menjadi 5,25% atau naik 50 bps dari 4,75% pada Jumat pekan lalu belum cukup ampuh meredam gejolak dolar AS.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan kembali menguatnya dolar AS tersebut disebabkan oleh berbagai faktor.
"Kalau rupiah kan dia tergantung gerak dari supply dan demand. Global volatility membuat beberapa di internasional itu pergerakan dari portofolio internasional di pasar uang," kata Suahasil di DPR, Jakarta, Senin (2/7/2018).
Suahasil juga menjelaskan, saat ini suku bunga acuan AS juga masih lebih tinggi yakni 2%. Hal itu membuat pelaku pasar lebih memilih menaruh uangnya di sana. Terlebih kata dia, bank sentral AS atau The Fed bakal kembali menaikan suku bunga acuannya.
"Dari emerging market masuk ke Amerika (Serikat), sehingga uang keluar dari emerging market lalu dia masuk ke Amerika karena suku bunga Amerika relatif lebih tinggi dan diperkirakan masih akan naik," jelasnya.
Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam memprediksi langkah BI menaikkan suku bunga BI 7 Days Reverse Repo Rate justru bertolak belakang dengan keinginan pasar.
"Saya khawatir ini menunjukkan kebijakan BI yang baru yaitu menaikkan suku bunga acuan 50 bps justru kontra produktif, efeknya negatif karena terlalu naik besar," kata Piter saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Senin (2/7/2018).
Penguatan dolar AS berlanjut dari siang kemarin (2/7/2018) di level Rp 14.350 hingga menuju level Rp 14.400. Tak lama berselang, dolar turun tipis ke Rp 14.395 dan ke Rp 14.388.
BI juga sudah resmi menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps menjadi 5,25% dari yang sebelumnya sebesar 4,75%. Menurut Piter, langkah tersebut nampaknya membuat pasar kurang yakin.
"Kenaikan suku bunga acuan BI seharusnya cukup 25 bps dan ditujukan bukan untuk menguatkan rupiah dengan segera, tapi lebih untuk mencegah pelemahan rupiah lebih besar," ungkap dia.
Selain itu, lanjut Piter suku bunga acuan bukan satu-satunya solusi bagi pemerintah untuk menyelesaikan persoalan nilai tukar. Karena, penyebab pelemahan rupiah juga berasal dari neraca perdagangan Indonesia yang masih defisit.
"Serta ketidakpastian akibat ketegangan perdagangan global. Faktor eksternal dan domestik ini saya kira menyebabkan rupiah hari ini kembali melemah ke level Rp 14.400," ujar dia.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengatakan, penguatan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) tidak hanya terjadi terhadap rupiah, melainkan juga pada mata uang negara lain.
Nilai tukar dolar AS terhadap rupiah kembali mengalami penguatan sore ini. Mengutip Reuters, dolar AS sempat menyentuh Rp 14.400.
"Ya memang lagi kuat sekali dolar AS, hari ini euro juga sedikit melemah, poundsterling juga melemah, mata uang kuat dunia juga rata-rata melemah terhadap US$. Ini isunya memang kebanyakan investorflight to safety, flight to quality, mata uang yang dituju ya dolar AS," kata David saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Senin (2/7/2018).
Nilai tukar dolar AS terhadap euro menguat 0,12% di level 0,85 euro dan terhadap poundsterling menguat 0,37% di level 0,76 poundsterling. Sedangkan dolar AS terhadap rupiah saat ini di level Rp 14.375.
Faktor eksternal masih menjadi momok bagi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Seperti perang dagang antara AS dengan China serta kenaikan suku bunga The Fed.
Pengaruh yang berasal dari dalam negeri pun satu per satu mulai terjawab, seperti inflasi yang terus terkendali, namun untuk neraca perdagangan yang masih defisit perlu segera dibenahi.
"Iya dolarnya memang lagi kuat sekali, apalagi buat mata uang emerging market yang masih butuh devisa besar untuk defisit transaksi berjalan kita besar.
Dengan dolar AS yang masih perkasa ini, dia berpandangan, jika likuiditas dunia pun menjadi ketat, terlebih lagi para negara tengah berlomba-lomba mempertahankan para investor agar tetap menanamkan dananya.
"Semuanya seperti bank saja, lomba-lomba naikkan suku bunga deposito supaya orang tetap menaruh dananya di dia. Jadi supaya asing itu tetap stay di negaranya masing-masing. Makanya bukan kita saja yang melemah," ujar dia.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, fluktuasi nilai tukar ini pun diramalkan akan terus berlangsung pada semester II-2018.
Kondisi eksternal seperti isu perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China, maupun kenaikan suku bunga The Fed. Selanjutnya, faktor yang berasal dari dalam negeri adalah masih defisitnya neraca perdagangan Indonesia. Itu semua adalah faktor yang membuat rupiah melemah yerhadap dolar AS.
Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan data realisasi neraca perdagangan Indonesia bulan Juni 2018 bisa meredam keperkasaan dolar AS terhadap rupiah.
"Kita harapkan neraca perdagangan bulan Juni membaik setidaknya kalau masih defisit hanya tipis," kata Piter saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Senin (2/7/2018).
Selain neraca perdagangan, Piter menilai langkah Bank Indonesia (BI) dengan selalu berada di pasar uang pun bisa meredam keperkasaan mata uang negeri Paman Sam tersebut.
"Bila itu terjadi tekanan terhadap rupiah akan mereda," sambung dia.
Sementara itu, ekonom dari PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengatakan pemerintah harus bisa membuat neraca perdagangan surplus jika ingin memperkuat nilai tukar rupiah.
"Saya pikir dengan rupiah agak melemah, terus juga bunga meningkat, kita lihat pengaruhnya ke impor. Kalau impornya cukup kuat ya khawatirnya nanti akan ada dan perlu adjustment lagi," kata David.
Menurut dia, sinergi lintas sektoral pun harus terus dilakukan oleh pemerintah, BI, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) serta kementerian/lembaga (K/L) terkait lainnya.
Sinergi tersebut, kata David, tujuannya tetap menenangkan pasar bahwa kondisi ekonomi Indonesia masih aman untuk investasi. Sebab, kondisi nilai tukar ini tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga seluruh negara di dunia.