Apa Kabar Rencana Pengembangan Mobil Listrik RI?

Apa Kabar Rencana Pengembangan Mobil Listrik RI?

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Jumat, 10 Agu 2018 10:08 WIB
Apa Kabar Rencana Pengembangan Mobil Listrik RI?
Foto: Fadhly F Rachman
Jakarta - Rencana pemerintah untuk mengembangkan kendaraan emisi karbon rendah (Low Carbon Emission Vehicle/LCEV), termasuk mobil listrik lama tak terdengar kabarnya.

Namun di balik sepinya kabar tentang mobil listrik, pemerintah nyatanya masih terus mengkaji dan membahas rencana pengembangan itu.

Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus membahas pengembangan mobil listrik bersama para industri otomotif. Lantas, bagaimana kelanjutannya? Simak berita selengkapnya.
Sejumlah ahli dari berbagai Universitas Negeri ternama pagi ini berkumpul di ICE BSD City, Tangerang Selatan. Mereka membahas mengenai pengembangan mobil listrik di Indonesia.

Hadir juga dalam acara itu Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Harjanto dan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo).

Dalam kesempatan itu, Harjanto mengatakan bahwa pengembangan mobil listrik di Indonesia sedang ramai dibahas. Pemerintah pun ikut mendorong pengembangan mobil listrik kepada industri otomotif yang ada.

"Bicara kendaraan listrik sekarang jadi trending topik di dalam industri otomotif, karena memang masalah emisi. Indonesia sebagai salah satu negara warga dunia sepakat untuk turunkan emisi 29% di tahun-tahun mendatang, di mana dengan bantuan internasional jadi lebih dalam jadi 40%" kata Harjanto.

Dia menjelaskan, sejatinya pemerintah telah mencanangkan program kendaraan emisi rendah atau low carbon emission vehicle (LCEV). sejak tahun 2015 lalu. Di mana, mobil listrik juga masuk dalam kategori tersebut untuk mendukung kendaraan yang ramah lingkungan.

Untuk bisa mendorong industri dalam mengembangkan kendaraan emisi rendah tersebut, pemerintah pun memberikan sejumlah insentif dalam bentuk fiskal, salah satunya Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) dan Tax Holiday.

"Tagline kita low carbon itu, definisi kita canangkan beberapa jenis kendaraan yang intinya semakin turunkan emisi, maka semakin diberikan pembebasan atau bisa menikmati PPnBM sehingga industri bisa didorong menggerakkan teknologi ramah lingkungan," ujarnya.

Lebih dari itu, Harjanto menjelaskan, sejatinya kendaraan beremisi rendah tak hanya berpatok pada mobil listrik semata. Contohnya seperti pengembangan kendaraan dengan standar emisi Euro 4. Sebab, bila hanya bicara soal mobil listrik, pemerintah masih perlu menyiapkan berbagai infrastruktur pendukung.

"Bicara industri kelistrikan, banyak aspek yang perlu disiapkan, jadi tak bisa serta merta bicara, tapi komponen pendukung belum disiapkan. Karena seperti yang kita ketahui bersama, untuk pengembangan mobil listrik, yang produksi bateri hanya tiga negara di dunia, China, Jepang, dan Korea. Jadi kita masih harus impor. Dan itu investasinya tinggi," tuturnya.

Kemenperin mendorong PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum untuk bisa memproduksi baterai mobil listrik yang berbahan dasar Lithium.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin Harjanto, mengatakan dengan Indonesia bisa memproduksi sendiri baterai, maka industri mobil listrik yang digagas pemerintah juga bisa lebih didorong.

"Saya sudah pernah sampaikan di teman-teman Inalum, kan sekarang banyak bikin stainless saja, kenapa nggak bikin baterai. Karena kuncinya dengan bikin baterai, kita bisa dorong kendaraan listrik," katanya.

Nantinya, kata Harjanto, bila Inalum bisa memproduksi baterai, maka bisa dimanfaatkan tak hanya untuk mobil listrik, namun juga motor listrik. Bahkan bisa untuk alat elektronik lainnya.

Pengembangan baterai listrik menurutnya penting dilakukan. Sebab, kata dia, saat ini baru ada tiga negara yang mampu memproduksi baterai untuk mobil listrik, yakni China, Korea Selatan, dan Jepang. Dengan memproduksi baterai sendiri, Indonesia tidak perlu ketergantungan impor.

"Jadi dia bisa bikin buat mobil, buat motor, dan sebagainya. Tidak hanya otomotif, bisa elektronik, bisa lari ke pembangkit-pembangkit. Ini contoh ya, karena kan kita dulu dorong Inalum untuk masuk ke sana," katanya.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin Harjanto mengatakan, dalam mendukung pengembangan mobil listrik tersebut, maka pemerintah juga perlu menyediakan berbagai hal yang dibutuhkan, contohnya masalah baterai.

Dia menjelaskan, saat ini baru ada tiga negara yang mampu memproduksi baterai untuk mobil listrik yaitu China, Korea Selatan, dan Jepang. Agar tak ketergantungan impor terhadap baterai mobil listrik, maka Indonesia seharusnya juga bisa memproduksi sendiri baterai dengan investasi yang mencapai Rp 140 triliun lebih.

"Kalau kita mau mengembangkan kita harus mengembangkan baterainya, sementara untuk memproduksi baterai butuh investasi yang tidak sedikit yaitu kurang lebih, kemarin ada yang mau investasi sekitar Rp 140 triliun lebih. Jadi ini bukan bicara yang rendah, jadi harus cukup masif," kata Harjanto.

Harjanto mengatakan, saat ini sudah ada pihak yang berminat untuk berinvestasi dalam pembangunan pabrik baterai mobil listrik di Indonesia. Harjanto mengatakan pihak yang tertarik itu merupakan perusahaan asal China, yang ingin membangun Pabrik di Halmahera.

"Tapi sampai saat ini saya belum dapat profile tentang investornya, tapi informasi yang peroleh baru seperti itu, Rp 144 triliun kalau nggak salah ya," katanya.

Indonesia belum bisa memproduksi sendiri baterai mobil listrik. Karenanya, harga mobil listrik bisa lebih mahal dari mobil biasa, bahkan bisa mencapai dua kali lipat.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin Harjanto mengatakan, saat ini baterai mobil listrik yang berbahan dasar lithium baru bisa diproduksi oleh tiga negara, yakni China, Korea Selatan, dan Jepang.

Karenanya, menurut Harjanto, harga mobil listrik bisa dua kali lebih mahal dari mobil biasa yang menggunakan internal combustion engine atau mesin motor pembakaran dalam.

"Kalau misalnya kita lithiumnya semua harus kita impor, lithium ini kan terbatas. Karena terbatas, maka harganya akan naik. Ini harga baterai akan jadi mahal sekali. Jadi mobil listrik itu perbedaannya mungkin dua kali lebih mahal daripada harga kendaraan yang disebut sebagai Internal Combustion Engine," katanya.

Selain harganya yang lebih mahal, maka ketergantungan impor terhadap baterai mobil listrik juga besar. Hal itu, kata Harjanto, bisa menyebabkan neraca perdagangan Indonesia defisit.

"Karena lithium kan kita nggak punya di dalam negeri. Kan kita khawatir kalau semua orang pakai lithium, barang itu jadi mahal. Kalau barang itu jadi mahal kan kita tergantung sama impor, bersrti impor kita neraca perdagangan bisa defisit gara-gara itu," jelasnya.

Untuk itu, tambah Harjanto, untuk saat ini pemerintah masih perlu berhati-hati dalam mendorong pengembangan mobil listrik. Menurutnya, pengembangan mobil listrik di industri otomotif dalam negeri tak perlu dipaksakan, namun harus mengikuti keinginan dari pasar.

"Intinya semua itu konsumen yang memilih, mana yang efisien bagi mereka. Jadi kita juga nggak mau mengembangkan suatu moda transportasi, harganya mahal banget, nggak affordable, bisa dua kali lipat," tuturnya.

Hide Ads