Ekonomi RI Krisis? Lihat Dulu 3 Pilar Ini

Ekonomi RI Krisis? Lihat Dulu 3 Pilar Ini

Hendra Kusuma - detikFinance
Sabtu, 15 Sep 2018 09:48 WIB
Ekonomi RI Krisis? Lihat Dulu 3 Pilar Ini
Foto: Ari Saputra
Jakarta - Banyak kalangan menilai ekonomi Indonesia berpotensi mengalami krisis seperti yang terjadi di Turki dan Argentina.

Penilaian tersebut muncul karena kondisi nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Tidak tanggung-tanggung pelemahannya cumyp dalam bahkan tembus ke level hampir Rp 15.000 per US$.

Kondisi nilai tukar tersebut bahkan disamakan dengan kondisi krisis moneter (krismon) pada 1998 di mana rupiah tembus ke level Rp 16.000an per US$.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan ada beberapa pilar untuk mengetahui bahwa ekonomi nasional krisis atau tidak. Berikut ulasannya:

Sri Mulyani mengatakan ada tiga pilar yang bisa menilai perekonomian Indonesia krisis atau tidak.

Hal itu diungkapkannya di depan sekitar 1200 pengusaha yang tergabung dalam Apindo dan Kadin Indonesia pada saat acara seminar nasional tentang peran serta dunia usaha dalam membangun sistem perpajakan dan moneter yang adil, transparan, dan akuntabel.

"Kalau konteks ekonomi dalam negeri untuk melihat krisis atau tidak ada beberapa pilar," kata Sri Mulyani di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta Pusat, Jumat (14/9/2018).

Pilar yang pertama, kata Sri Mulyani adalah moneter. Kondisi moneter Indonesia sampai saat ini masih baik, terlihat dari pertumbuhan ekonomi di level 5%, inflasi yang rendah dan terjaga di level 3,5%, hingga konsisten menjaga stabilitas nilai tukar.

Kondisi moneter nasional yang baik juga terlihat dari sektor perbankan di mana kreditnya mulai bertumbuh, kredit macet (NPL) yang masih terjaga.

Pilar kedua, kata Sri Mulyani mengatakan adalah APBN. Pasalnya APBN menjadi pemersatu bangsa dengan kontribusi dari pajak, bea cukai, dan PNBP.

Pilar selanjutnya, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyebutkan adalah kondisi neraca pembayaran yang menggambarkan terkait dengan transaksi berjalan maupun neraca perdagangan Indonesia.

Kondisi neraca pembayaran Indonesia memang defisit namun hal tersebut masih dijaga dengan beberapa langkah, mulai dari penerapan kebijakan B20, pembatasan impor, hingga penundaan beberapa proyek infrastruktur.

Bendahara negara itu mentebut bahwa ekonomi Indonesia masih jauh dari krisis. Apalagi, Indonesia masih menjadi pembicaraan investor asing sebagai tempat berinvestasi yang baik.

"Indonesia masih menjadi cerita yang positif, waktu saya di Singapura, di Hanoi kemarin, oleh karena itu saya membutuhkan para pengusaha menyampaikan hal positif," tutup dia.

Wanita yang akrab disapa Ani ini mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional di 2019 masih dalam momentum yang positif.

Dia juga meminta kepada para pengusaha yang tergabung dalam Apindo dan Kadin Indoneisa untuk memanfaatkan momentum tersebut.

"Pertumbuhan ekonomi kita dalam situasi momentum menguat," kata Sri Mulyani di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Jumat (14/9/2018).

Sri Mulyani menceritakan bahwa proyeksi pertumbuhan Bank Dunia untuk perekonomian global berada di level 3,9% pada tahun 2018 dan 2019.

Pemerintah sendiri telah menetapkan asumsi dasar pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN tahun anggaran 2019 sebesar 5,3%.

"Jadi 2019 ini masih optimis tumbuh tinggi karena pemulihan yang cukup kuat sejak krisis 2008, AS dengan ekonomi terbesar juga tumbuh karena melakukan policy fiskal, normalisasi moneter," jelas dia.

Optimisme pertumbuhan ekonomi di tahun depan juga menjawab kekhawatiran para pengusaha yang tergabung dalam Apindo dan Kadin Indonesia. Pengusaha mengaku tidak nyaman dalam menjalankan usahanya di tengah ketidakpastian global seperti pelemahan nilai tukar.


Dia menegaskan bahwa ekonomi dunia sangat dinamis dan perlu diantisipasi.

Sri Mulyani menjelaskan sejak awal tahun gejolak ekonomi dunia memang sudah terasa. Sumber gelombangnya berasal dari Amerika Serikat (AS) yang melakukan normalisasi.

"Normalisasi ini terjadi berhubungan dengan kondisi krisis ekonomi di 2008 yang menimpa AS dan menular ke Eropa," tuturnya dalam acara Seminar Nasional yang digelar oleh Apindo dan Kadin di Grand Ballroom Kempinsky, Jakarta Pusat, Jumat (14/9/2018).

Saat itu, kata Sri Mulyani, Bank Sentral AS, The Fed mengambil kebijakan dengan menurunkan suku bunga acuan dari 5% hingga ke 0%. Selain itu The Fed juga membeli aset-aset investasi yang tidak tumbuh di perbankannya.

"Sehingga jumlah likuiditas dolar AS melimpah dan suku bunga menurun bisa membuat dana investor menyebar," tambahnya.

Saat ini, kata Sri Mulyani, sudah 10 tahun krisis ekonomi AS berlalu. Perekonomian mulai pulih dan mereka mulai melakukan normalisasi kebijakan.

Normalisasi kebijakan itu menyedot pulang dolar-dolar AS dari negara-negara berkembang di dunia. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi pemerintah saat ini.


Hide Ads