Ia menjelaskan, buruh harus melihat dari dari kondisi perekonomian di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5% per tahun tidak mungkin pengusha harus mengikuti tuntutan buruh dengan mengabulkan kenaikan upah di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
"Jangan dipolitisasi, jangan menjelang Pemilu minta 25%. Kita harus lihat lah, pertumbuhan kita seperti apa. Pertumbuhan kita bandingkan produktivitas nasional itu tumbuh 5%," jelas dia kepada detikFinance, Kamis (18/10/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan, jika nantinya permintaan kenaikan upah 25% tersebut dikabulkan, permintaan barang akan lebih tinggi dibandingkan produksi barang. Ia juga menjelaskan, tingkat produktivitas buruh di Indonesia saat ini belum tinggi.
"Permintaan akan lebih tinggi dibandingkan kita menghasilkan barang. Nah ini kan akan mengakibatkan inflasi juga nanti akan menurunkan daya beli buruh gitu. Jadi ya kita akan mengalami hiperinflasi, yang pada gilirannya buruh yang kena. Bukan hanya buruh tapi semua yang non buruh juga akan kena. Jadi jangan berfikir kenaikan upah buruh itu untuk menaikkan konsumsi nanti menaikkan ekonomi nasional itu salah," papar dia.
Ia menjelaskan, pemerintah saat ini sudah tidak lagi mengandalkan produktivitas hasil olahan dari buruh di Indonesia. Buktinya, jika kekurangan produksi barang seperti pangan pemerintah lebih memilih keputusan impor.
"Kalau sekarang kalau kita konsumsinya nambah sedikit saja misalnya, cabai kita harus impor, bawang kita harus impor, garam harus impor. Artinya apa, produktivitas kita itu nggak bisa mencukupi kebutuhan kita," papar dia
Baca juga: Menakar Besaran UMP 2019 |
Sementara itu, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Menaker) menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2019 naik 8,03%. Kenaikan UMP di setiap provinsi akan diumumkan serentak pada 1 November 2018.
Penetapan upah minimum 2019 merupakan hasil dari penambahan upah minimum 2018 dikalikan tingkat inflasi plus pertumbuhan ekonomi nasional, sesuai dengan Pasal 44 Ayat 1 dan Ayat 2 PP Nomor 78 Tahun 2015. (dna/dna)