Fakta di Balik Swasembada Pangan Era Orde Baru

Fakta di Balik Swasembada Pangan Era Orde Baru

Dana Aditiasari - detikFinance
Rabu, 21 Nov 2018 19:52 WIB
Foto: Ilustrasi : Edi Wahyono
Jakarta - Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya Titiek Soeharto mengungkit zaman Orde Baru dalam kampanyenya. Dia mengatakan, jika Prabowo menang Pilpres akan dilanjutkan program-program Orde Baru karena dianggap berhasil menciptakan swasembada pangan.

Anggota DPR RI yang punya pengalaman hidup di era tersebut, Nusyirwan Soejono, menjelaskan, memang di era Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, RI berhasil mencapai swasembada pangan.

Namun ada catatan yang perlu menjadi perhatian bersama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bagi yang sempat mengalami zaman Orde Baru dengan sistem Pemerintah yang otoriter, mungkin saja bisa Swasembada pangan. Tetapi apakah petani-nya sejahtera?" kata dia kepada detikFinance, Rabu (21/11/2018).


Catatan tersebut dilontarkan Nusyrwan merujuk catatan bahwa di era Orde Baru, RI mulai menerapkan liberalisasi di mana investor asing bisa masuk ke sejumlah sektor industri termasuk pangan.

"Jenis padi yang ditanam ditentukan. Pupuk juga ditentukan. Tidak bebas menanam berbagai jenis padi," beber dia.

Nusyrwan mengatakan, liberalisasi tak hanya melingkupi sektor pertanian. Bahkan sektor strategis yang saat itu menyumbang 80% pendapatan negara, yakni sektor minyak dan gas (migas) dan pertambangan juga dibuka bagi investor asing ditandai dengan masuknya Freeport.

Justru, sambung dia, di era pemerintahan saat ini, RI berhasil merebut 51% saham freeport sebagai tanda RI kembali berdaulat di buminya sendiri.

"Yang semuanya itu saat ini oleh Pemerintah dipimpin Presiden Jokowi berupaya dikembalikan untuk memberikan manfaat bagi negara dan rakyat Indonesia. Petral dibubarkan dan Freeport kepemilikan mayoritas 51%," tandas dia.

Sekedar catatan saja, melansir catatan USAID/Indonesia September 1972, Rabu (21/11/2018), dalam periode 1967 hingga 1971 saja, pemerintah Indonesia sudah membuka pintu untuk 428 investor asing dengan total nilai investasi mencapai US$ 1,6 miliar, di luar sektor minyak bumi.


Soeharto dan Soekarno memang berbeda. Secara politik, Soekarno bertentangan dengan negara-negara di kubu blok barat, Amerika Serikat dan sekutunya. Presiden pertama Indonesia itu cenderung memihak blok timur (Rusia dan China).

Sementara Soeharto lebih cenderung memihak blok barat. Terbukti saat dia memutuskan Indonesia kembali bergabung dengan International Monetary Fund (IMF) pada 1967. Sebelumnya pada 1965 Soekarno memutuskan agar Indonesia keluar dari keanggotaan IMF karena permasalahan politik dengan blok barat.

Keberpihakan Soeharto juga semakin terlihat ketika periode liberalisasi berlangsung yakni sejak 1983-1997. Pemerintah Orde Baru melakukan liberalisasi pada sektor industri, pertanian dan pangan.

Dengan memanfaatkan upah buruh yang murah, pemerintah Orde Baru mencoba untuk menarik investor asing. Investor asing juga masuk ke sektor pertanian dengan memproduksi pupuk kimia dan pestisida. (dna/zlf)

Hide Ads