Jakarta -
Pemerintah memutuskan batal menaikkan tarif cukai untuk hasil tembakau (HT). Keputusan itu sudah bulat setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani menandatangani aturan.
Aturan yang melandasi batalnya kenaikan cukai rokok tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK 010/2018 (PMK 156/2018) tentang Perubahan Atas PMK Nomor 146/PMK 010/2017 (PMK 146/2017) tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Ada beberapa alasan pemerintah tak jadi menaikkan cukai, salah satunya industri rokok yang terus menurun.
Deputi Urusan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Atong mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir industri rokok memang mengalami penurunan. Paling jelas terlihat dari jumlah pabrik rokok yang berkurang cukup drastis.
"Kami melihat tren rokok ini majin lama makin turun. Di 2017 menurut data Bea dan Cukai pabrik rokok ada 776, kalau data kamk 493 pabrik. Bayangin dari 1.000 (pabrik). Bahwa ini banyak yang di-layoff," ujarnya di Gedung BEI, Senin (17/12/2018).
Menurut Atong, dari pabrik rokok yang tutup kebanyakan merupakan pabrik kecil yang biasanya industri kecil menengah di daerah. Sementara perusahaan rokok besar relatif masih bisa bertahan.
"Untuk pabrik beberapa seperti SKM sama SPM, dia masih bisa survive," ucapnya.
Meski tidak menaikkan tarif, pemerintah yakin penerimaan cukai rokok HT tahun depan tidak akan menurun. Namun tujuan pemerintah tidak menaikkan tarif cukai memang salah satunya ingin menyelamatkan industri rokok yang juga berhubungan terhadap jumlah lapangan pekerjaan.
Menurut Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai, Direktorat Jenderak Bea dan Cukai Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto setidaknya pemerintah sudah 6 kali tidak menaikan tarif cukai HT, termasuk tahun ini.
"Tarif cukai tembakau tidak naik ini bukan pertama kali. Setidaknya sudah 6 kali wakti 2001, 2003, 2004, 2008, 2014 dan yang terakhir 2018," ujarnya.
Pemerintah memutuskan tidak menaikkan cukai rokok di saat-saat itu tentunya dengan berbagai alasan. Sebab industri rokok begitu rumit, mulai dari penerimaan negara, lapangan kerja hingga dari sisi kesehatan masyarakat.
"Makanya kita harus ramu kebijakan yang paling tepat," tambahnya.
Nirwala mengatakan, dalam menentukan kebijakan pemerintah juga mempertimbangkan dari sisi potensi penerimaan negara dari sisi indstri HT. Belum lagi tembakau juga membuka cukup banyak lapangan pekerjaan.
"Kontribusi fiskal tembakau 61,4%, urutan kedua industri jasa keuangan 26,2%, sedangkan BUMN 9,5%, real estate 4,7%. Ini data Nielsen maupun EY. Makanya kita harus hati-hari sekali menerapkan industri rokok," tambahnya.
Kepala Subdit Tarif Cukai, Ditjen Bea Cukai (DJBC), Sunaryo mengatakan, peningkatan intensifikasi rokok ilegal sudah dilakukan pihaknya sejak tahun ini. Ada beberapa operasi yang digelar salah satunya operasi Gempur.
"Untuk 2018 dengan upaya yanh sangat terstruktur dengan Operasi Gempur. Sehingga bagaimana kita bisa mengontrol yang tidak bayar cukai. Ini Inaya Allah 2018 penerimaan bisa kita capai," ujarnya.
Sunaryo menjelaskan target penerimaan cukai tahun ini sebesar Rp 165 triliun, sementara khusus cukai dari rokok sebesar Rp 148 triliun. Pihaknya pun yakin target itu bisa tercapai.
Upaya penertiban rokok ilegal yang dia sebut "di luar kandang" itu akan lebih ditingkatkan di 2019. Tujuannya agar mereka patuh dan membayar tarif cukai.
Menurut hasil survei yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) jumlah rokok ilegal di tahun ini sekitar 7,04% dari total rokok yang ada. Persentase ini turun dibanding dengan tahun 2016 sebanyak 12,14%.
"Kami tidak menganggap kecil masalah rokok yang ilegal, kami akan terus tekan. Bu Menteri menargetkan 2019 hanya 3%. Ini upaya luar biasa. Kalau bisa ditekan bisa menambah penerimaan," tambahnya.
Halaman Selanjutnya
Halaman