Menanti Penerimaan Cukai Plastik Rp 500 M di 2019

Menanti Penerimaan Cukai Plastik Rp 500 M di 2019

Hendra Kusuma - detikFinance
Selasa, 18 Des 2018 11:29 WIB
Foto: Thinkstock
Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) lewat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) telah mengalokasikan penerimaan cukai plastik dan lainnya sebesar Rp 500 miliar pada 2019.

Pengalokasian penerimaan cukai plastik dan barang kena cukai (BKC) lainnya pada APBN bukan baru dilakukan. Pemerintah sudah mulai sejak 2017. Namun karena pembahasannya alot hal itu belum terealisasi.

Sekretaris Menko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan penerapan cukai plastik membutuhkan aturan dan pembahasan yang lama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Penetapannya harus melalui PP, sehingga dibicarakan oleh parlemen, dan kalau teman-teman DJBC menargetkan PP selesai akhir tahun, tidak bisa langsung menerapkan karena butuh aturan pelaksanaan,," kata Susiwijono di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (18/12/2018).

Susi menceritakan, alokasi penerimaan cukai sudah dilakukan sejak 2017 dengan besaran Rp 1 triliun, pada tahun 2018 sebesar Rp 500 miliar, dan tahun depan sebesar Rp 500 miliar.

Penyiapan penerimaan cukai plastik, kata Susiwijono dikarenakan produk tersebut memiliki dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat. Serta masuk ke dalam kriteria dalam UU Nomor 39 Tahun 2007 mengenai cukai.


"Kalau disimpulkan cukai itu bukan instrumen penerimaan, tapi instrumen fiskal untuk pengendalian, pengawasan peredaran, dan kalau barang yang menimbulkan dampak negatif," ujar dia.

Menurut Susiwijono, pemerintah juga sudah merancang dan membahas mengenai BKC di luar dari yang saat ini sudah terkena cukai. Setidaknya ada 15 barang baru yang berpotensi dan sesuai kriteria aturan untuk dikenakan cukai. BKC tersebut antara lain, plastik, minuman manis, minuman bersoda, MSG, hingga BBM.

"15 barang itu memenuhi 4 karakteristik, instrumen fiskal cukai ini untuk mengendalikan, mengawasi, dan mengontrol dampak negatif," jelas dia.

Namun demikian, kata Susi, hal itu perlu dibicarakan terlebih lanjut dengan dewan perwakilan rakyat (DPR) sebagai syarat penyusunan aturannya. Lalu, butuh aturan pelaksana yang pembahasannya pun harus melibatkan seluruh stakeholder.

(hek/ang)

Hide Ads