Penerimaan Negara 100% Dianggap 'Kado' Semu, Benarkah?

Penerimaan Negara 100% Dianggap 'Kado' Semu, Benarkah?

Hendra Kusuma - detikFinance
Jumat, 04 Jan 2019 10:17 WIB
1.

Penerimaan Negara 100% Dianggap 'Kado' Semu, Benarkah?

Penerimaan Negara 100% Dianggap Kado Semu, Benarkah?
Foto: Tim Infografis: Zaki Alfarabi
Jakarta - Kementerian Keuangan menjawab seluruh anggapan beberapa kalangan yang menyebutkan bahwa keberhasilan kinerja APBN Tahun Anggaran 2018 merupakan prestasi yang semu.

Ada beberapa kalangan menganggap semu kinerja APBN 2018 lantaran tidak berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi, menurunkan angka kemiskinan, maupun tingkat pengangguran terbuka.

Keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan APBN 2018 hanyalah karena durian runtuh atau windfall (penerimaan tak terduga akibat naiknya harga minyak dunia).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, hal tersebut langsung dijawab oleh Kementerian Keuangan, berikut jawabannya:
Dirjen Anggaran Askolani Kementerian Keuangan mengatakan keberhasilan pemerintah dalam mengamankan penerimaan negara yang tembus 102,5% dari target adalah fakta dan hasil kerja keras dari sinergi lintas sektor.

"Hal itu adalah fakta, dan dicapai dengan kerja keras dan nyata serta dengan strategi dan action yang kongkret dan terukur bersinergi dengan lintas stakeholder," kata Askolani saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Kamis (3/1/2019).

Pemerintah berhasil mengamankan penerimaan sampai akhir Desember 2018 sebesar Rp1.942,3 triliun atau 102,5% dari target Rp 1.894,7 triliun. Realisasi belanja negara juga baik dengan Rp 2.202,2 triliun atau 99,2% dari target Rp 2.220,7 triliun.

Dengan realisasi tersebut, maka angka defisit APBN sebesar 1,76% atau setara Rp 259,9 triliun dari target yang sebesar 2,19% atau Rp 325,9 triliun.

Menurut Askolani, jika ingin mengomentari kerja pemerintah harus didasari dengan informasi yang utuh dan harus mengerti mengenai konteks yang dibahasnya juga.

Bahkan dirinya juga menilai bahwa melontarkan komentar atas suatu capaian yang didapat memang lebih mudah. Namun, dirinya pun meminta kepada seluruh masyarakat untuk membuktikan dengan konkret jika ingin menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih baik dari saat ini.

Dia menyebut, saat ini yang dibutuhkan adalah kerja nyata dan pembuktian untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih maju.

"Kalau hanya komen memang lebih mudah, tinggal dibuktikan apa kerja nyata untuk bangun Indonesia yang lebih baik dan lindungi masyarakat. Itu yang perlu ditanyakan balik ke yang bersangkutan," katanya.

Keberhasilan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam merealisasikan penerimaan negara di 2018 dianggap semu karena bukan murni dari kinerja pemerintah.

Realisasi penerimaan negara tahun 2018 berhasil tembus 102,5% atau setara Rp 1.942,3 triliun dari target Rp 1.894,7 triliun. Namun, hal itu karena fenomena naiknya harga minyak dunia, bukan faktor kunci kinerja pemerintah yang berasal dari pajak.

"Jadi, tercapainya target 100% penerimaan negara dan berkurangnya defisit ternyata bukan berasal dari perbaikan kinerja. Indikator kunci (key indicator) dari kinerja Menteri Keuangan sebenarnya adalah rasio penerimaan pajak," kata analys ekonom Gede Sandra dalam keterangannya seperti dikutip, Jakarta, Kamis (3/1/2019).

Gede menjelaskan, jika Kementerian Keuangan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi selama 2018 berada di level 5,15%, maka produk donestik bruto (PDB) menurutnya ada di angka Rp 24.288,6 triliun.

Artinya, dengan penerimaan pajak tahun 2018 hanya sebesar Rp 1.315,9 triliun, maka rasio penerimaan pajak terhadap PDB atau tax ratio definisi sempit versi pemerintahan saat ini adalah sebesar 9,2%.

Menurut Gede, berdasarkan data Bank Dunia bahwa besaran tax ratio tahun 2018 sebesar 9,2% ini bukan saja yang terburuk selama 4 tahun Pemerintahan Jokowi, melainkan juga yang terendah dalam 45 tahun terakhir perjalanan sejarah Indonesia.

Oleh karena itu, dia menilai bahwa keberhasilan pemerintah dalam mengamankan penerimaan negara tahun 2018 adalah prestasi yang semu bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Pencapaian APBN 2018 yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati disambut dengan gegap gempita oleh pemerintahan, tak terkecuali oleh Presiden Jokowi.

Pencapaian ini seolah-olah sebagai kado akhir tahun dari Kementerian Keuangan yang dikomandani oleh Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini untuk pemerintah khususnya Presiden Jokowi.

Namun, Timses Prabowo-Sandi Handi Risza mempertanyakan hal mendasar atas kado akhir tahun tersebut, yaitu apakah dampaknya juga signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat.

Menurut dia, pencapaian APBN 2018 belum cukup kuat mendorong laju perekonomian nasional, serta beberapa indikator perekonomian seperti angka kemiskinan dan pengangguran.

Secara umum, kata Timses Prabowi-Sandi Handi Risza, kinerja sektor perpajakan masih belum maksimal. Sampai dengan akhir Desember 2018 penerimaan pajak mencapai Rp 1.315,9 triliun atau sebesar 92,4% dari target sebesar Rp 1.424,00 triliun dalam APBN 2018. Dengan kata lain masih terdapat shortfall (kekurangan penerimaan/defisit) pajak mencapai Rp108,1 triliun.

Adapun, kontribusi harga minyak dunia tersebut, terlihat pada penerimaan PPh Migas sebesar Rp 64,7 triliun atau mencapai 156% dari target APBN 2018 sebesar Rp 38,13 triliun. Begitu pula Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). PNBP mencapai Rp 407,1 triliun atau 147,8% dari target APBN 2018 sebesar Rp275,42 triliun. Dimana kontribusi PNBP SDA Migas per Nov 2918 mencapai Rp119,82 triliun atau sekitar 149,13% terhadap APBN 2018.

Dalam realisasi APBN 2018 juga pemerintah masih melakukan gali lubang tutup lubang karena nilai keseimbangan primer negatif Rp 1,8 triliun.

Begitu juga dengan angka kemiskinan dan pengangguran. Menurut dia, angka kemiskinan per akhir Desember 2018 yang mencapai 9,82%, belum bisa menggambarkan kinerja Pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan. Rata-rata penurunan angka kemiskinan justru semakin lambat. Dari tahun 2015 hingga 2018, penurunan angka kemiskinan rata-rata hanya mencapai 0,88% jauh dibandingkan dengan periode sebelumnya yang mencapai angka 3,4%.

Sedangkan angka pengangguran yang mencapai angka 5,34% pada akhir tahun 2018. Persentase penurunan angka pengangguran dalam empat tahun terakhir rata2 hanya mencapai 0,84%, jauh dari periode sebelumnya yang mencapai 2.0%.

Hide Ads