Awalnya Sri Mulyani menjelaskan mengenai APBN Indonesia yang masih didesain dengan defisit, yaitu pendapatan lebih kecil dibanding belanja negara.
"Kalau total belanja lebih banyak dari penerimaan maka kita defisit, defisit itu didanai oleh utang, yang sekarang populer karena musim politik," kata Sri Mulyani.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Sri Mulyani Utang pemerintah itu sudah ada sejak era kepemimpinan Presiden Soeharto dan kini ramai karena musim politik.
"Padahal dari sananya utang itu sudah ada," ujar Sri Mulyani.
Mengutip data APBN KiTa, Jakarta, Selasa (22/1/2019), utang pemerintah pada Desember 2018 tercatat sebesar Rp 4.418,30 triliun. Angka ini naik Rp 22,33 triliun dari bulan November yang sebesar Rp 4.395,97 triliun.
Utang ini terdiri dari pinjaman serta penerbitan Surat Utang Negara (SBN). Pinjaman yang ditarik pemerintah di 2018 tercatat mencapai Rp 805,62 triliun.
Sebagian besar sisanya, merupakan hasil penerbitan SBN pemerintah di 2018 yang mencapai Rp 3.612,69 triliun atau 81,77% dari total utang pemerintah pusat.
Surat berharga negara tersebut dibagi menjadi dua yakni denominasi rupiah yang mencapai Rp 2.601,63 triliun dan denominasi valas yang mencapai Rp 1.011,05 triliun.
Yang jelas, total utang pemerintah yang sebesar Rp 4.418,30 triliun itu sama dengan 29,98% dari produk domestik bruto (PDB) yang berdasarkan data sementara Rp 14.735,85 triliun. Itu berarti utang pemerintah masih jauh di bawah batas yang ditetapkan ketentuan perundang-undangan yaitu 60% dari PDB. (hek/hns)