Jakarta -
Perbincangan mengenai debat calon presiden (capres) putaran kedua yang berlangsung pada Minggu lalu masih hangat sampai sekarang. Bagaimana tidak, masing-masing calon mengeluarkan pernyataan yang menarik untuk dikulik.
Salah satunya pernyataan yang dilontarkan capres nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi). Dalam debat, Jokowi mengatakan Indonesia sedang menuju biodiesel 100%.
Petahana mengatakan, pemerintah menempuh langkah tersebut untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Biodiesel, biofuel sudah kita mulai melakukan produksi B20 kita teruskan sampai B100. Sehingga ketergantungan energi fosil semakin berkurang dari tahun ke tahun," kata Jokowi dalam Debat Capres Jilid 2 di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019).
Lantas, apa yang dimaksud B100? Apakah hal itu bisa diterapkan? Berikut berita selengkapnya dirangkum detikFinance:
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menerangkan, B100 sendiri merupakan bahan bakar yang sepenuhnya berasal dari nabati. Dalam B100 tidak ada komponen dari minyak fosil.
B100 sendiri bisa berasal dari berbagai macam tumbuhan, apakah dari kelapa sawit hingga tanaman jarak.
"B100 itu kan adalah bahan bakar dari nabati, dalam arti bukan fosil. Apakah kelapa sawit, jarak, dan lebih ke bahan-bahan yang memang dari tumbuhan sebagai bahan bakar," katanya kepada detikFinance, Senin (18/2/2019).
Sementara, yang ada di pasaran saat ini adalah B20. Mamit menjelaskan, B20 merupakan bahan bakar campuran dari minyak solar dan kelapa sawit. Di dalam bahan bakar itu, komponen kelapa sawit sebesar 20%.
"Kalau sekarang solar di-blending kelapa sawit. Solar dicampur kelapa sawit dengan komposisi 20% dari 1 liter. Jadi 800 mililiter solar, 200 mililiter adalah kelapa sawit," ujarnya.
Mamit mengatakan, langkah pemerintah menerapkan B20 untuk mengurangi impor solar.
"Jadi ini yang dilakukan pemerintah B20 tujuannya adalah untuk mengurangi impor migas. Dengan blending otomatis volume impor solar berkurang, karena dipenuhi kelapa sawit ini," terangnya.
Mamit Setiawan mengatakan, pernyataan yang disampaikan Jokowi merupakan hal positif. Namun, program itu terlalu ambisius untuk ditempuh secara singkat.
"B100 saya kira sulit, agak terlalu ambisius, 100% kelapa sawit. Bagus, tapi agak sulit realisasi," katanya.
Bukan tanpa alasan. Dia menjelaskan, untuk menerapkan B100 butuh riset atau penelitian.
Menurutnya, perlu melihat juga pasar yang memakai B100. Terutama, terkait dampaknya kepada mesin hingga manufaktur yang memakai B100.
Dia bilang, lebih baik penggunaan bahan bakar nabati dilakukan secara bertahap, tidak secara instan.
"Saya kira tidak dalam waktu dekat untuk menjadi B100, dalam 5 tahun ke depan. Karena dari B20 pemerintah masih mau meningkatkan B30 dahulu, karena harus penelitian, terutama terkait mesin apakah merusak atau tidak, terus manufaktur mau menerima atau tidak, banyak harus yang dipertimbangkan ataupun penelitian terkait penggunaan bahan bakar nabati ini," paparnya.
Dia menekankan, strategi terbaik dalam penggunaan bahan bakar nabati ialah dilakukan secara bertahap.
"Tidak serta merta B100. Mungkin tidak dalam waktu dekat. Jadi memang mungkin dalam waktu dekat ini, 30-40% sampai melihat kesiapan pasar dan manufaktur sampai pembiayaan (untuk kilang)," terangnya.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengatakan, Indonesia bisa menggunakan biodiesel 100% atau B100 pada tiga tahun mendatang. Namun, dengan catatan belum semuanya memakai bahan bakar nabati tersebut.
Jika belum, maka pemerintah akan mengoptimalkan pemakaian B50 atau separuhnya berasal dari nabati.
Demikian penjelasan Rini saat menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo dalam debat capres.
"3 tahun bisa B100, cuma masalahnya apakah sudah penuh semua mungkin belum bisa. Jadi untuk menggantikan full solar menurut saya masih makan waktu. Jadi kalau belum bisa menggantikan full solar semua mungkin kita bikin full-nya B50, bukan B100," katanya di Kementerian BUMN, Jakarta Pusat, Senin (18/2/2019).
Rini menjelaskan, pemanfaatan B20 saat ini sudah berjalan. Kemudian, dirinya mengaku telah melakukan kunjungan ke perusahaan minyak Italia yakni ENI SpA untuk melihat teknologi yang diterapkan di sana.
Dari kunjungan itu diketahui ENI ternyata membeli CPO dari Indonesia dan mengolahnya menjadi B100.
"Kita melihat teknologi dari ENI, ENI itu perusahaan minyak Italia yang ternyata mereka itu selama ini beli CPO dari Indonesia yang mereka proses menjadi B100," ujarnya.
Setelah kunjungan itu, PT Pertamina (Persero) kemudian meneken perjanjian kerja sama untuk mengembangkan kilang hijau. Kilang itu nantinya akan memproduksi B100.
Namun, dia bilang, secara bertahap akan memproduksi B50 terlebih dahulu.
"Jadi setelah saya ke sana, Pak Jonan (Menteri ESDM) ke sana dan Pak Jonan juga melihat ini teknologi yang baik. Bu Nicke (Dirut Pertamina) sudah buat perjanjian awal dengan ENI untuk membangun refinery di Plaju, Bu Nicke di Plaju untuk membangun refinery mungkin B50 pertama, jadi CPO menjadi B50. Tapi targetnya nantinya ke B100," ujarnya.
"Harapan kita mau menggantikan solar dengan betul-betul B100, bukan hanya pakai CPO, bisa pakai CPO, ampas tebu, bisa pakai kaliandra bisa macam-macam," tutupnya.
Halaman Selanjutnya
Halaman