Mengambil ruang melalui pengadaan barang dan jasa menjadi salah satu contoh. Dugaan ini juga yang dialamatkan pada Wisnu Kuncoro yang ketika terkena OTT KPK menjabat sebagai Direktur Teknologi dan Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS).
Wisnu juga terbilang cukup cerdik lantaran menggunakan perantara dalam menerima suapnya, yaitu Alexander Muskitta. Wisnu merencanakan pengadaan barang dan peralatan sebesar Rp 24 miliar dan Rp 2,4 miliar. Sedangkan Alexander menawarkan beberapa rekanan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Modus selanjutnya untuk mengantongi cuan ke kantong pribadi adalah dengan membuat proyek fiktif. Hal ini yang menjerat athor Rachman selaku Kepala Divisi II PT Waskita Karya (Persero) Tbk periode 2011-2013 dan Yuly Ariandi Siregar selaku Kepala Bagian Keuangan dan Risiko Divisi II PT Waskita Karya (Persero) Tbk periode 2010-2014 menjadi tersangka pada Desember 2018 lalu.
Kedua orang tersebut menunjuk beberapa perusahaan sub kontraktor untuk melakukan pekerjaan fiktif padahal proyeknya usdah dikerjakan perusahaan lain. Pembayaran kemudian diserahkan empat perusahaan sub kontraktor kepada tersangka dengan kerugian negara diperkirakan sebesar Rp 186 miliar.
Lain lagi dengan kasus yang menimpa Budi Tjahjono. Budi didakwa korupsi Rp 3 miliar dan US$ 662.891 dengan kasus pembayaran komisi agen fiktif asuransi minyak dan gas BP Migas-KKKS.
Masih di BUMN, kejadian serupa menimpa Firmansyah Arifin yang kala itu menjabat sebagai Direktur Utama PT PAL Indonesia (Persero). Tak sendiri, Firman dan dua anak buahnya ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi pengadaan kapa.
Suap itu berkaitan dengan ekspor kapal perang Strategic Sealift Vessel (SSV) ke Filipina. Kapal BRP TARLAC (LD-601) tersebut merupakan pesanan The Department of National Defence Armed Forces of The Philippines. (ara/dna)