-
Bagi orang Indonesia dengan budaya ketimurannya memiliki hunian yang menapak tanah merupakan keharusan. Tapi bagi sebagian orang yang hidup di tengah kota keharusan itu berubah jadi sekadar mimpi.
Di Jakarta misalnya, kota metropolitan yang sudah penuh sesak ini sudah sangat langka untuk mencari perumahan baru. Bahkan di kota-kota sekitaran seperti Bekasi, Tangerang, Depok hingga Bogor juga mulai langka.
Pemerintah sendiri sudah memberikan fasilitas rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun kondisi ini masih dilema bagi masyarakat menengah tanggung.
Mereka tidak masuk dalam kategori MBR, tapi pemasukannya pas-pasan untuk membeli rumah komersil.
Dani (29) tampak bingung memandangi tumpukan selembaran iklan rumah yang dia kumpulkan setelah berkeliling pameran perumahan. Dia datang jauh-jauh dari Bekasi ke pameran yang ada di JCC itu demi mencari rumah idamannya.
Apa daya dia masih belum mendapatkan jodoh dengan rumah idamannya. Bahkan dia mengaku sudah sebulan lebih mencari rumah, mulai dari melalui situs online hingga keliling perumahan.
"Saya cari di daerah Bekasi, tapi susah. Sudah sebulan enggak ada yang cocok juga," ujarnya kepada detikFinance.
Rumah idamannya bukan layaknya istana yang megah. Dia hanya ingin rumah yang layak huni, nyaman dengan akses yang mudah. Namun keinginan sesimpel itu saja menurutnya sulit didapatkan dengan gajinya yang masih kelas menengah bawah.
Kebanyakan di daerah Bekasi sudah sangat jarang ketersediaan lahan. Sehingga yang ada hanya rumah klaster kecil yang berisi beberapa rumah. Kebanyakan lokasinya juga cukup jauh dari jalan utama.
"Sekalipun ada harganya gila-gilaan. Ini ada perumahan besar harganya Rp 800 jutaan. Duh gaji saya belum cukup," ucapnya sambil menunjukan salah satu selembaran.
Dani mengaku gajinya sebagai karyawan swasta saat ini hanya sekitar Rp 7 juta. Idealnya dengan pemasukan itu cicil rumah yang bisa dia ambil sekitar Rp 1-2 jutaan per bulan.
"Kalau cicilan segitu paling ambil rumah subsidi. Nah masalahnya rumahnya lokasinya jauh-jauh banget. Saya kerja di Jakarta. Posisinya juga masih belum nyaman transporasi umumnya," keluhnya.
Dani bukan satu-satunya kaum milenial yang kesulitan mencari rumah. Adi (27) juga punya keluhan yang sama. Bedanya dia saat ini sudah mendapatkan hunian.
Adi merupakan salah satu orang yang beruntung bisa membeli hunian TOD bersubsidi di Prasada Mahata Margonda. Kenapa beruntung? Karena ada ribuan orang yang berniat membelinya namun hanya 190 orang yang lolos.
"Emang harus effort banget buat beli TOD. Berkasnya banyak, harus rela anti panjang. Nguras waktulah," ucapnya.
Dia mengaku memang ogah membeli rumah tapak. Sebab menurutnya harga rumah tapak tak bisa dijangkau dengan gajinya yang hanya Rp 6 juta. Lagipula bagi dia jauh lebih bermanfaat membeli hunian TOD yang nempel dengan stasiun KRL. Dia tidak harus pusing bermacet-macetan setiap harinya menuju kantor.
"Kalau beli rumah tapak serba salah. Kalau DP kecil cicilannya gede, DP gede cicilannya kecil tapi tenornya panjang sampai 20 tahun," ucapnya.
Lalu ada Rizky (29) yang juga tengah berburu rumah. Dia yang sudah berkeluarga dan memiliki 2 anak merasa sangat membutuhkan rumah tapak.
Sudah sebulan lebih dia mencari rumah di sekitaran Tangerang, namun hingga kini belum juga menemukan rumah yang cocok.
"Kadang ada yang cocok harganya tapi kualitas rumahnya rendah. Kita kan beli buat ditinggalin jangka panjang," ucapnya.
CEO Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda mengatakan banyaknya kaum menengah tanggung seperti milenial yang banyak menyewa hunian di ibu kota merupakan bentuk frustasinya mereka dalam mencari rumah tapak.
"Itu bentuk frustasinya mereka. Dia melihat harha rumah sudah semakin tinggi dan tidak terjangkau," ujarnya kepada detikFinance.
Menurut hasil riset IPW di 2018 generasi milenial (kelahiran 1980-1995), jumlahnya mencapai 32,5% dari penduduk Indonesia. Mereka kebanyakan adalah pekerja dengan dengan level baru sehingga pemasukannya sekitar Rp 6 jutaan.
Survey itu menunjukan bahwa sebanyak 47,4% mereka kos biasa, lalu 47,1% sewa apartment dan sisanya tingga dengan keluarga. Paling banyak mereka mengeluarkan uang sewa hunian sekitar Rp 1-2 juta perbulan (40,9%). Ada juga yang rela mengeluarkan uang Rp 2-3 juta per bulan (35,5%).
"Karena misalnya mereka bergaji Rp 8 juta saja itukan cicilan yang bisa disanggupi Rp 2-3 juta per bulan dengan harga Rp 350-400 juta. Di Jakarta sudah tidak ada rumah seharga itu," tambah Ali.
Untuk harga rumah dikisaran itu masih ada di wilayah-wilayah pinggiran Jabodetabek. Itupun saat ini rata-rata harganya mencapai Rp 400-500 jutaan.
"Kan nggak mungkin dia beli rumah Rp 150 juta (rumah subsidi). Akhirnya dilema buat mereka apakah mau di pinggiran tapi punya rumah atau sewa di Jakarta," tambahnya.
Menurut Ali jika kondisi ini tidak bisa terpecahkan maka bukan tidak mungkin generasi milenial yang merupakan kalangan menengah tanggung akan menjadi 'kontraktor' seumur hidup atau tak punya hunian.
Ali menilai, sebenarnya tidak masalah jika generasi selanjutnya terus-terusan sewa tempat tinggal, asalkan memang ada pemasukan untuk membayarnya. Setidaknya kondisi itu terjadi di kota-kota besar di negara maju.
Namun bagi orang Indonesia dengan budaya ketimuran, memiliki rumah yang napak tanah merupakan keharusan. Sebab rumah menjadi salah satu harta yang bisa diwariskan kepada keturunannya.
Nah kondisi ini tentu harus ada pihak yang bisa mencari jalan keluarnya, lagi-lagi pemerintah. Menurut Ali pemerintah bisa saja menugaskan BUMN untuk turun tangan menyediakan rumah dengan harga yang terjangkau buat kalangan menengah tanggung.
"Mereka ini kan tak bisa beli rumah subsidi tapi tak sanggup beli rumah komersil," ucapnya.
BUMN, kata Ali, bisa saja menyediakan perumahan harga terjangkau dengan rela memangkas margin keuntungannya. "Ya saya rasa bikin rumah Rp 350 juta masih bisa untunglah. Berkurang sedikit tapi saya yakin masih bisa untunh," tutupnya.
Lalu apa sebenarnya yang membuat harga rumah tapak semakin tak terjangkau?
Menurut pandangan Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata selaku pengembang, ada beberapa faktor yang membuat harga rumah begitu mahal. Salah satunya adanya kandungan non produksi dalam penetapan harga rumah.
"BPHTB mislanya, sekarang kan sudah 5%. Cuma maslahnya ada ini di pemerintah daerah bukan pemerintah pusat. Pemda kan ada 400 sekian yang punya pandangan berbeda. Mereka mengandalkan bahwa BPHTB pemasukan daerah," ujarnya kepada detikFinance.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB adalah pajak pembelian yang dibebani kepada pembeli. Besarannya 5% dikali harga jual dikurangi nilai jual obyek pajak tidak kena pajak. Nah besaran nilai tidak kena pajak berbeda setiap daerah.
Biasanya pengembang menawarkan gimmick bebas BPHTB. Padahal terkadang BPHTB sudah masuk dalam harga jual yang ditalangi terlebih dulu oleh pengembang.
"Ini kan kalau BPHTB bisa dibuat kebijakan pusat dan bisa dilaksanakan di daerah, misalnya 1% atau bahkan di 0% kan, itu akan membantu konsumen," tambahnya.
Tak hanya BPHTB, masih ada sederet komponen biaya non produksi dalam harga jual properti. Misalnya biaya KPR yang rata-rata 5% dari plafond yang ditanggung pihak bank. Di dalamnya termasuk asuransi KPR.
Selain itu ada juga pajak penjual atau pajak penghasilan (PPH) dari pengembang sebesar 5% dari harga jual. Unsur ini juga membuat pengembang memutar otak mematok harga jual.
Belum lagi ada biaya notaris yang menyiapkan untik atka jual beli (AJB) dan akta kredit. Belum lagi biaya tetekbengek lainnya yang biasanya dimasukan dalam kandungan harga jual.
"Jika konsumen semakin tidak terbebani biaya-biaya itu, mereka bisa mendapatkan kualitas rumah yang baik juga," tambah Soelaeman.
Perencana Keuangan Eko Endarto menjelaskan, dalam mengelola keuangan agar tetap stabil maksimal cicilan rutin tiap bulannya harus mencapai 30% dari pemasukan. Jika didalamnya ada cicilan KPR masih ada unsur toleransi hingga 40%.
"Cicilan utang ngga boleh lebih dari 30% penghasilan. Kecuali kalau di dalam cicilan itu ada cicilan KPR. Boleh sampai 40% totalnya," ujarnya kepada detikFinance.
Eko menerangkan, jika ingin memiliki sebenarnya faktor yang menjadi kritikal bukan gaji, tapi komitmen. Sebab gaji atau pemasukan bisa berubah tergantung kondisi.
"Yang terpenting adalah komitmen,target yang realistis dan produk yang sesuai," tambahnya.
Pilihlah rumah secara realistis. Jangan mementingkan hawa nafsu dengan memilih rumah idaman. Cocokan juga dengan penghasilan setiap bulannya.
Jika sudah memutuskan untuk membeli rumah, maka pastikan diri Anda berkomitmen untuk membayar cicilan rumah secara rutin setiap bulannya. Itu artinya cicilan rumah di atas segalanya termasuk pengeluaran untuk senang-senang dan biaya rutin.
Menurut Eko, jika kondisinya membeli rumah pertama, tidak usah ragu untuk mengambil cicilan KPR dengan jangka waktu yang lama seperti 20 tahun atau bahkan 25 tahun. Sebab hunian itu akan ditinggali dalam jangka waktu yang lama bukan hanya sekadar investasi.
"Untuk rumah pertama dan digunakan untuk konsumsi maka ngga masalah jangka waktu paling lama, karena untuk property khususnya rumah tapak, nilai asetnya naik lebih tinggi dari nilai bunganya," tutupnya.