Produksi Baja KS Capai 203.000 Ton, Masih Butuh Impor?

Produksi Baja KS Capai 203.000 Ton, Masih Butuh Impor?

Dana Aditiasari - detikFinance
Senin, 04 Nov 2019 15:50 WIB
Foto: Dok. Krakatau Steel
Jakarta - Banjirnya baja luar negeri bikin pengusaha lokal babak belur. Demikian disampaikan Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim.

Menurutnya, tantangan yang dihadapi industri baja nasional saat ini adalah bagaimana menghentikan impor baja dan mewujudkan swasembada baja. Industri baja nasional belakangan ini menghadapi impor baja dengan cara circumvention (pengalihan HS code) sehingga tidak membayar bea masuk.

"Ini mematikan industri baja nasional. Kami berharap Pemerintah dapat melindungi investasi yang sudah masuk ke Indonesia melalui kebijakan tata niaga dan pengetatan ijin impor untuk meningkatkan utilisasi pabrik baja terintegrasi dari hulu hingga ke hilir," tuturnya, Senin (4/11/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Meski demikian, PT KS berhasil meningkatkan produksi baja lembaran panas (hot rolled coil) mencapai 203.315,55 ton pada Oktober 2019.

Rekor produksi ini merupakan pemecahan dari total produksi sebelumnya yakni sebesar 200.411 ton pada bulan Desember 2007.

"Kami terus berbenah dan melakukan perbaikan. Krakatau Steel secara perlahan mulai membangun kembali kekompakan tim antar lintas fungsi dan lebih fokus kepada pelayanan konsumen. Kami meyakini dan akan menjalani hal ini dengan konsisten," imbuh Silmy.

Dalam hal pengembangan kapasitas, saat ini tengah dilakukan pembangunan Hot Strip Mill#2 yang pada kuartal 4 2019 nanti akan selesai mechanical completion-nya. Di awal 2020, pabrik SM#2 akan mulai produksi.

Dengan adanya kedua pabrik HSM#1 dan HSM#2 ini, kapasitas produksi HRC meningkat menjadi 3,9 juta ton per tahun dan selanjutnya dapat dikembangkan menjadi 6,4 juta ton per tahun.


Lebih jauh Silmy menyampaikan, dengan kondisi produksi yang mumpuni seperti ini berarti produsen baja nasional tidak mempunyai masalah dalam hal produksi. Melainkan, masalah industri baja nasional berada pada tata niaga dan impor baja nasional.

"Dengan beroperasinya HSM#2 maka kapasitas terpasang pabrik penghasil HRC di Indonesia sudah lebih besar daripada permintaan pasar, sehingga seluruh kebutuhan HRC dapat 100% dipasok dari dalam negeri. Tidak perlu impor," tegas Silmy.


(dna/zlf)

Hide Ads