Direktur Utama Pertama Nicke Widyawati menjelaskan, skenario berat yakni dengan asumsi kurs dolar Amerika Serikat (AS) Rp 17.500 dan Indonesia crude price atau harga minyak mentah Indonesia US$ 38 per barel.
Dia menjelaskan, dengan asumsi itu maka pendapatan (revenue) dari sisi hulu turun 56,56% dari RKAP, hilir turun 38,42%, sub holding gas turun 13,54 %, dan finance & services turun 39,96%.
Dengan begitu, dalam skenario berat pendapatan Pertamina diperkirakan turun 38,37% dari RKAP atau turun 29,94% dibanding tahun sebelumnya (yoy).
"Secara total revenue kami akan menurun skenario berat 38,37%," katanya dalam rapat online dengan Komisi VII, Selasa (21/4/2020).
Sementara, untuk skenario sangat berat yakni asumsi kurs dolar AS Rp 20.000 dan ICP US$ 31 per barel. Secara keseluruhan pendapatan Pertamina turun 44,66% dari RKAP atau turun 39,38% yoy.
Keuntungan Pertamina juga akan tergerus lebih dalam. Sebab, dipengaruhi oleh rugi selisih kurs.
"Jadi gambarannya seperti ini, bagaimana dampaknya terhadap profit ini lebih dalam lagi, karena apa, karena ada rugi selisih kurs yang harus dimasukan laba rugi kami," ujarnya.
"Sebagai gambaran untuk skenario sangat berat ketika penuruan revenue adalah 44,7% dibanding target maka profit akan berkurang 51% dengan asumsi yang ditetapkan pemerintah," tambahnya.
Baca juga: Harga BBM Mestinya Turun Sejak 31 Maret |
Nicke juga menuturkan, cashflow perusahaan juga akan berat. Lantaran, Pertamina juga memberikan keringanan kepada konsumen.
"Cashflow kami lebih berat karena kami memberikan fasilias kredit kepada pelanggan. Kami menyadari semua pihak hari ini kesulitan cashflow. Kami memberikan keringanan customer-customer loyal kami untuk diberikan tempo pembayaran," terangnya.
(acd/hns)