Jakarta -
Komisi VII DPR RI dan Menteri ESDM Arifin Tasrif serta perwakilan beberapa kementerian telah mengambil keputusan terkait Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba). RUU melaju ke pembicaraan tingkat II sidang paripurna.
Pembahasan RUU ini kerap dipertanyakan, lantaran pembahasannya cenderung 'kilat'.
Wakil Ketua Komisi VII sekaligus Ketua Panja RUU Minerba DPR RI Bambang Wuryanto mengatakan, pembahasan RUU ini telah dilakukan sejak tahun 2016.
"Banyak yang menanyakan melalui WA (WhatsApp), media massa, ini pembahasan terlalu cepat. Jawaban kami saudara sekalian bahwa RUU Minerba disiapkan sejak 2016," katanya dalam rapat kerja virtual, Senin (11/5/2020).
"Kemudian saat-saat akhir sudah menuju pembahasan pemerintah periode lalu kemudian masuk itu tinggal pesandingan DIM (daftar investarisasi masalah)," tambahnya.
Hal itu juga mengacu pada pembahasan 938 DIM yang dinilai pembahasannya cepat. Ia mengatakan, hal itu mengacu pada mekanisme pembahasan perundang-undangan.
"Kemudian banyak DIM yang sama sehingga itu tidak perlu dibahas," ujarnya.
Selanjutnya, ia menuturkan, DPR sesuai kewenangan yang dimiliki mempunyai mandat untuk membentuk Undang-undang. Di mana pembahasannya dilakukan bersama dengan pemerintah.
Ia menambahkan, jika ada yang kurang tepat pada Undang-undang ini maka pihaknya mempersilakan untuk melakukan judicial review.
"Kalau nanti ada yang kurang pas hasil Undang-undang dipersilakan judicial review. Tidak usaha pakai WA-WA yang dibombardir kepada kami semua," ujarnya
Apa saja isi RUU Minerba?
Bambang melanjutkan, dalam pembahasan RUU Minerba terdapat sejumlah poin yang telah disepakati antara pemerintah dan DPR.
Sebutnya, pertama, adanya jaminan dari pemerintah pusat tidak melakukan perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), wilayah pertambangan rakyat (WPR), wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) yang telah ditetapkan. Serta, menjamin terbitnya perizinan dalam rangka kegiatan usaha pertambangan.
Kedua, usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha.
"Jadi yang kemarin langsung keluar izin bahasanya diubah menjadi perizinan berusaha dalam rangka mengakomodir RUU Ciptaker," ujarnya.
Ketiga, bagian pemerintah daerah dari hasil kegiatan pertambangan dinaikkan dari sebelumnya 1% menjadi 1,5%. Keempat, kewajiban IUP dan IUPK untuk menggunakan jalan pertambangan yang dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan dapat dibangun sendiri maupun kerja sama.
"Adanya kewajiban IUP dan IUPK untuk mengalokasikan dana untuk melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan rakyat yang besaran minimumnya ditetapkan menteri," sebutnya pada poin kelima.
Keenam, dalam RUU ini juga mengatur kewajiban divestasi perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh asing.
"Kewajiban badan usaha pemegang IUP operasi produksi atau IUPK operasi produksi yang sahamnya dimiliki asing untuk melakukan divestasi saham secara langsung 51% secara berjenjang kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan atau badan usaha swasta nasional," paparnya.
Ketujuh, kewajiban untuk IUP untuk menyediakan dana ketahanan cadangan mineral dan batu bara untuk kegiatan penemuan cadangan baru.
Kedelapan, kewajiban reklamasi dan pasca tambang sebelum mengembalikan WIUP atau WIUPK hingga tingkat keberhasilan 100%. Terakhir, inspektur tambang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dalam aturan ini.
"Tanggung jawab pengelolaan anggaran, sarana, prasarana serta operasi inspektur tambang dibebankan pada menteri maksudnya pemerintah," ujarnya.
Fraksi Demokrat menolak, apa alasannya?
Mayoritas fraksi di Komisi VII DPR RI menyetujui RUU Minerba agar dilanjutkan ke pembicaraan tingkat II dalam pandangan mini fraksi. Pandangan mini faksi disampaikan setelah pimpinan rapat membacakan draf RUU tersebut.
"Demikian tadi 9 fraksi telah menyatakan pendapatnya," kata Ketua Komisi VII Sugeng Supartowo dalam rapat virtual, Senin (11/5/2020).
Namun, Fraksi Partai Demokrat menolak RUU dibahas ke tingkat selanjutnya. Anggota Komisi VII Fraksi Partai Demokrat Sartono Hutomo menilai dengan kondisi negara sangat genting saat ini rasanya kurang tepat apabila DPR membahas hal-hal lain di luar penanganan COVID-19. Ia juga meminta agar pemerintah agar menunda agenda yang tidak berkaitan dengan Corona.
"Mempertimbangkan kondisi saat ini, di saat negara genting masyarakat menderita COVID-19 rasanya kurang tepat apabila DPR RI membahas hal-hal lain di luar kaitannya penanganan dan pengendalian COVID-19," ujarnya.
"Fraksi Demokrat menyatakan menolak pembahasan dan pengembalian keputusan atas RUU tentang perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 Minerba untuk diteruskan di tingkat selanjutnya. Dan menunda pembahasan hingga tanggap darurat COVID-19 berakhir," ujarnya.
Menjelang keputusan, Fraksi PKS menarik pandangannya karena hilangnya kata 'langsung' divestasi saham 51% dalam draft RUU Minerba. Anggota Komisi VII Fraksi PKS Mulyanto menyatakan akan kembali menyerahkan pandangannya.
"Karena kami sudah menyerahkan draft kami bisa nggak kami diberi waktu untuk menarik kembali untuk melaporkan kapada ketua fraksi besok kami sampaikan sikap kami tertulisnya," jelasnya.
Simak Video "Video: Tok! DPR Sahkan RUU Minerba Jadi Undang-undang"
[Gambas:Video 20detik]