Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI) Totok Lusida mengatakan sektor properti memiliki keterkaitan langsung yang erat dengan industri perbankan. Dukungan perbankan amat penting, apalagi dengan kondisi sekarang ini yang semakin membuat para pengembang tertekan. Ketegasan pemerintah kepada perbankan terkait restrukturisasi kredit diyakini dapat mencegah banyak perusahaan properti melakukan PHK kepada karyawannya.
"Kami minta penundaan bayar pokok dan bunga, agar cashflow-nya bisa digunakan untuk bayar karyawan. Kalau digantung lama oleh perbankan karena pemerintah kelamaan memberikan instruksi, kami tidak tahu bisa bertahan berapa lama (tidak PHK)," ujar Totok dalam telekonferensi, Kamis (14/5/2020).
Selain untuk mencegah PHK karyawan, ketegasan restrukturisasi kredit juga dibutuhkan untuk memperlancar pengembang melakukan pendanaan utang jangka pendek mereka. Menurut data BI per-Maret 2020, total kredit yang disalurkan oleh perbankan kepada 17 sektor industri adalah sebesar Rp 5.703 triliun, di mana 17,9%-nya disalurkan kepada sektor real estat sebesar Rp 1.024 triliun yang terdiri dari kredit konstruksi (351 triliun), kredit realestat (166 triliun) dan KPR KPA (507 triliun).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari Rp 1.024 triliun yang disalurkan ke sektor properti, Rp 62 triliun di antaranya adalah kredit modal kerja jangka pendek. Berdasarkan strukturnya, Rp 51,1 triliun (82%) penyalurannya ditujukan untuk modal kerja perusahaan properti terbuka. Perlu dicermati bahwa 24% (Rp 12,5 triliun) kredit modal kerja perusahaan properti terbuka tersebut merupakan utang jangka pendek yang perlu ditangani secara cepat.
"Jelas sekali bahwa porsi kredit di sisi supply dan demand properti hampir berimbang. Kredit modal kerja dan konstruksi amat penting bagi pengembang untuk melakukan pendanaan awal, yang kemudian diteruskan oleh KPR KPA oleh konsumen. Jika salah satu porsi kredit ini terganggu maka pendanaan pengembang pasti akan terpukul," terangnya.
Maka sangat penting untuk menjalankan secara cepat restrukturisasi utang para pengembang dan konsumen properti karena multiplier effect dari stimulus restrukturisasi tersebut dapat menggerakkan industri ikutan properti secara signifikan dan menyelamatkan tenaga kerja yang ada di dalam industri properti dan industri ikutannya serta meredam dampak sistemik jika terjadi NPL di perbankan.
Data Bursa Efek Indonesia menyebutkan sekitar 76,2% hutang jangka pendek perusahaan pengembang terbuka ada di bank swasta, yang justru sulit sekali melakukan restrukturisasi dikarenakan masih adanya tekanan OJK terhadap KPI (Key Performance Indicator) dari bank-bank tersebut, di mana salah satunya adalah perihal NPL yang masih dijadikan tolok ukur.
"Ada kebijakan yang tidak sinkron dari OJK di mana di satu sisi meminta agar dilakukan stimulus restrukturisasi namun di pihak lain tetap memegang acuan ketat mengenai NPL dan KPI perbankan. Hingga saat ini, POJK No.11/POJK.03/2020 dirasa belum cukup efektif pelaksanaannya di level operasional. Kami berusaha keras untuk tidak melakukan PHK, namun kalau tidak didukung oleh perbankan, berat bagi industri properti untuk bertahan," pungkasnya.
(ara/ara)